Arianne duduk bersila di depan sebuah pohon besar. Punggungnya tidak bersandar pada batang pohon itu, melainkan agak membungkuk ke depan. Jubah hitamnya telah dilepas, hanya menyisakan kemeja putih dan rok abu-abu yang merupakan seragam sekolahnya disamping jubah. Dasi biru terangnya agak dilonggarkan karena ia agak kepanasan, namun tetap cukup rapi. Si jubah sendiri telah terlipat rapi di atas tas sekolahnya, yang tergeletak tak jauh darinya. Rambut panjangnya yang jarang diikat, terurai lemas ke belakang, beberapa helaiannya melewati bahunya dan menjurai ke depan, karena ia membungkuk. Arianne tengah mengawasi beberapa benda yang tergeletak di hadapannya.
Sebuah gantungan kunci berbentuk bola kecil. Berwarna putih dan berjahit benang-benang merah di antaranya. Sebuah foto hitam putih yang tidak bergerak, berisikan sosok tiga anak bertopi sama, dua laki-laki dan satu perempuan, ketiganya nyengir bangga sambil mengacungkan dua jari mereka -tengah dan telunjuk- ke depan. Sebuah bando kain berwarna pink muda, masih dalam plastik yang membungkusnya.
Ketiga benda itu mempunyai arti bagi Arianne. Ketiganya adalah benda berharganya, yang diberikan teman-temannya tatkala ia akan pindah ke Hogwarts. Sorot mata mereka menyiratkan kesedihan bagai Arianne akan pergi jauh, meski bibir mereka membentuk senyum. Padahal yang bersangkutan merasa bahwa sepuluh bulan takkan lama, toh mereka akan berjumpa lagi. Dipandangnya lagi ketiga benda itu. Sebelum akhirnya Arianne menyenderkan tubuhnya ke belakang, ke batang pohon itu, sambil mengubah posisi kakinya menjadi berselonjor. Ia teringat teman-temannya, yang sekarang entah di mana. Ah, mereka ada di pelupuk matanya, yang sekarang terkatup, ingin terus melihat bayangan mereka.
Awal musim gugur. Saat di mana udara mendingin. Dari yang awalnya panas, menjadi hangat. Kemudian dingin dan beku saat memasuki musim dingin. Awal musim gugur. Kala di mana hari mulai memendek waktu siangnya, karena matahari berotasi dan berevolusi sesuai takdirnya. Awal musim gugur. Ketika hijau berubah menjadi cokelat kering. Ketika Arianne merindukan teman-temannya yang akan mengajaknya bermain dan melompat-lompat di tumpukan daun-daun cokelat kering itu.
***
Pukulan baseball pertamanya yang berhasil melewati pagar lapangan di utara dan dengan sukses memecahkan jendela toko roti. Topi pertamanya yang diberikan oleh Will. Spageti pertamanya yang dibilang enak oleh Mark. Permainan basket pertama mereka dimana Arianne berhasil mencetak angka, meski harus dibayar dengan kakinya yang keseleo. Semua itu bertumpuk di pelupuk matanya, mengalir deras memenuhi ingatannya. Membuat senyumnya mungkin akan terkembang, andai saja ia memang mengalaminya lagi. Namun tidak, Arianne tidak tersenyum, karena ia tahu bahwa ini hanya ingatan belaka. Meskipun ia senang bisa mengenangnya lagi.
"Tumben kau sendiri disini ?Kukira kau sedang dikandang burung hantu. Mengadu pada orang tuamu atau kakekmu ?"Sebuah suara sinis, anak perempuan, membuat Arianne membuka matanya. Kekesalan menjalarinya, si anak perempuan telah mengganggu waktunya yang berharga. Meskipun tidak jelas juga Arianne sedang melakukan apa. Tapi jelas saja, ia tidak suka diganggu, apalagi oleh anak perempuan rese tukang dandan yang bisanya cuma main rumah-rumahan dan boneka-bonekaan. Saat Arianne melongokkan kepalanya untuk melihat siapa yang mengganggunya, ia mengenali wajah si pemilik suara sinis menyebalkan. Anak perempuan yang pernah ditemuinya di tepi danau. Sky Chastain.
Anak bodoh. Dia telah melempar topik yang salah pada Arianne. Pembicaraan mengenai keluarga akan membuat Arianne naik darah, dan menyinggung soal kakeknya akan mengintimidasi Arianne untuk menamparnya, kalau ia telah sangat marah. Arianne duduk tegak dari sandarannya pada pohon, dan memasukkan barang-barangnya dan jubahnya ke dalam tasnya, kemudian menggeser duduknya agar berhadapan dengan Chastain. Dipandangnya anak itu dengan pandangan menilai, apakah pantas untuk dilayani atau tidak.
"Kau tidak tahu slogan sekolah ini ya? Draco Dormiens Nunquam Titilandus. Dalam kasusmu, berarti
Jangan Usik Urusan Orang Lain, " balas Arianne tak kalah sinis, kedua tangannya disilangkan di depan dadanya dengan angkuh. Yeah, dalam hal mencampuri urusan orang, Arianne bisa dibilang seperti ular. Usik, dan kau akan dipatuk. Campuri urusan Arianne, dan kau akan merasakan akibatnya. Arianne tak lemah, meskipun Mark dan Will sering melindunginya.
***
Kedua tangan Arianne tersilang, ekspresinya menantang Chastain yang sepertinya berniat mencari masalah dengannya. Tatapannya sinis, merendahkan sosok anak perempuan Gryffindor yang nampaknya benar-benar tidak punya pekerjaan lain sehingga mengusik Arianne. Seulas seringai nampak di bibirnya, bukan berarti dia senang dengan keberadaan Chastain. Sebaliknya malah. Arianne merasa sangat terganggu, sehingga bisa saja ia lepas kendali, membalas dan mempermalukan si Chastain yang sok tahu itu. Chastain berkata bahwa ia bisa membaca dengan sangat baik sehingga bisa masuk sekolah ini.
Rupanya tak perlu waktu lama. Bahkan Arianne tak perlu turun tangan untuk membalasnya. Sepotong dahan jatuh dari atas pohon, dan menimpa Chastain. Arianne tersenyum sinis melihatnya.
Rasakan! Itu akibatnya kalau kau mencari masalah denganku! batinnya puas. Yeah, Arianne tidak salah apa-apa, sehingga wajar saja bila karma menimpa Chastain. terdengar suara seorang anak perempuan berseru, dan Arianne menengok ke atas. Seorang anak perempuan berambut panjang sedang bertengger di sana layaknya burung, dan meminta maaf dalam bahasa... Prancis? Dan si Chastain juga menjawab dalam bahasa yang sama. Darah Arianne seakan membeku.
Anak yang di hadapannya ternyata orang Prancis, kalau dilihat dari bahasa yang digunakannya. Pantas ia menyebalkan. Yang menyakitkan Arianne, anak perempuan yang menolongnya. Prancis. Kenapa keadilan bagi Arianne dibawa oleh anak perempuan itu? Dan mau apa dia memanjat pohon? Orang Prancis seharusnya tidak bertingkah seperti itu.
"Hai! kau anak yang sama-sama disiksa oleh si maniak pembunuh itu di Leaky Cauldron kan? Senang melihat kalau kau ternyata selamat dari kejarannya." Tampaknya anak perempuan itu sedang bersitegang dengan anak perempuan lain di sana. Suara orang lain yang sepertinya dikenal Arianne. Seorang anak laki-laki beremblem Ravenclaw. Arianne spontan memberinya senyum, antara senyum senang dan kasihan. Senang karena ternyata anak itu belum terbunuh, dan kasihan karena dia senasib dengan Arianne. Pernah akan dibunuh oleh si pasien lepasan St. Mungo. "Hai, Merovingian. Yeah, aku selamat," jawabnya singkat, masih dengan lipatan-tangan-di-depan-dada. Arianne tahu namanya tentu saja. Topi Seleksi menyebutkannya saat malam pertama mereka di Hogwarts. Chastain berkata lagi soal 'satu-satu'. "Kalau kau memang bisa membaca slogan itu, seharusnya kau tidak mengusik orang lain. Kalau kau masih melakukannya, berarti otakmu sudah berkarat saking lamanya tidak kau gunakan," balasnya masih dengan suara yang tenang. Arianne tidak akan terpancing dengan taktik orang Prancis.
***
Arianne memandangi Chastain sinis, memperhatikan dengan cermat agar tidak kalah dan terpancing. Anak di atas pohon membalas dengan sewot kata-kata Prancis Chastain. Dengan bahasa Inggris kini. Tiba-tiba terdengar suara teriakan memanggil seseorang bernama 'Sarbini'. Arianne menoleh, dan mendapati sesuatu melompat-lompat berwarna hijau, ke arahnya.
Kodok? batinnya bingung. Dengan sigap Arianne mengulurkan tangan menangkap makhluk apapun yang menghampirinya itu. Malukhluk itu ternyata berbulu, dan melihat bentuknya, Arianne dapat mengira-ngira, bahwa itu adalah Puffskein. Seperti yang tertera jelas dalam buku yang pernah dibacanya.
Terdengar lagi suara lain. Suara sepertu bunyi kerikil yang dilemparkan ke papan kayu. Pletak! Pletak! Arianne menoleh lagi ke asal suara, yang ternyata... Chastain, entah bagaimana bisa terlempari beberapa benda. Entah apa saja. Arianne memperhatikannya dengan heran, kemudian perasaan ingin tertawa keras melandanya. Arianne menahannya, dan sebagai gantinya -karena ia tak bisa menahan tawanya yang mendesak ingin sekali disuarakan- ia menyeringai lebar, memandang dengan penuh kepuasan. "Balasan untuk kebodohanmu mencari masalah denganku rupanya telah ada, hmmphh..." Arianne mengulum senyum, masih menahan tawanya.
Pandangannya dialihkan pada asal lemparan, atas pohon, dan mendapati bahwa si gadis Prancis- oh, bukan, ada gadis lain lagi, dengan emblem yang sama dengan Arianne, berarti mereka seasrama, dan kemungkinan yang ini kakak kelasnya, karena Arianne tidak pernah melihatnya di kelas. Entah kapan ia datang, namun ia telah siaga dengan ketapel di tangannya. Si gadis Prancis juga nyengir jahil. Jelas sudah bahwa mereka berdua berpartisipasi dalam hal pelemparan Chastain. Arianne mendongakkan kepalanya, dan tak bisa ditahannya ketika akhirnya ia berucap, "Thanks," sambil menyelipkan seulas senyum di bibirnya.
***
"Maaf, bisa kembalikan Puffskeinku yang ada di tanganmu, Miss?"Arianne mengalihkan matanya dari kedua gadis yang bertengger di atas pohon, ke arah suara di dekatnya. Rupanya si gadis pemilik makhluk berbulu hijau yang ditangkap Arianne, entah bagaimana, telah berada di dekat Arianne. Arianne mengulurkan kedua tangannya, dan melempar si Puffskein dengan lembut ke arah si pemilik Puffkein, sambil menambahkan satu kata singkat, "Terserah." Ia tak terlalu peduli puffskein ini milik siapa, dan juga tidak berminat mengambilnya, bahkan jikalau puffskein ini tidak ada pemiliknya.
Perhatian Arianne kembali teralih mendengar seruan lain, suara anak laki-laki kini,
”Mlle, ẽtes-vous bien? Que s’est produit?” Si Anak Prancis. Yang memiliki rambut coklat dan mata biru, anak asrama Gryffindor. Yang sekarang berpakaian bebas, padahal ini hari sekolah. Yang mengambil permen pemberian Yusuke dari kepala Arianne. Yang suka berlaku sok pahlawan. Dan ia melakukannya lagi. Berlaku sok pahlawan di depan Arianne. Bertanya apakah Chastain baik-baik saja.
Kuharap tidak, desis Arianne kejam dalam hati. Salah siapa yang mengusik orang lebih dulu. Arianne memandangi Chastain dengan puas, meski tangannya tak lagi bersidekap, melainkan tergantung di kedua sisi tubuhnya.
Betapa terkejutnya Arianne ketika Si Anak Prancis menghampirinya, merogoh saku celananya sebentar, dan menjejalkan beberapa benda secara tiba-tiba ke tangan Arianne.
”Miss. Maafkan aku sudah mengambil permen lolipopmu kemarin. Aku tidak tahu kau begitu suka permen. Ini ada beberapa permen. Ambillah.” Arianne memandang isi tangannya sejenak. Beberapa buah permen entah apa saja telah ada dalam genggamannya. Selama beberapa detik ia tak melepas pandangannya. Entah kenapa, yang muncul bukanlah rasa terima kasih, setelah melihat demonstrasi kebaikan anak itu. Justru perasaan kesal bercampur kasihan yang muncul ke permukaan.
Ketika akhirnya kepalanya mendongak, menatap kembali Si Anak Prancis, senyum sinis tersungging di bibirnya. "Pertama," ucapnya dengan suara meremehkan, "kau tak usah sok pahlawan, apalagi di depanku. Kalau kau tidak tahu masalahnya tidak usah sok tahu." Hening sejenak. Arianne menghela napas singkat tanpa terlihat, kemudian melanjutkan.
"Kedua," Arianne melirik tangannya, kemudian menjatuhkan semua permen di genggamannya, senyumnya semakin sinis saat matanya kembali terarah pada Si Anak Prancis, "aku tidak butuh permen-permenmu. Cari saja orang lain yang mau. Dan ketiga," Arianne memandangnya sekilas dari bawah ke atas, barulah setelah itu menatap lagi anak itu, "bukankah sudah kukatakan? Harus berapa kali kuberitahu supaya otakmu mau mengingatnya, eh? Jangan. Usik. Urusan. Orang. Lain." Arianne mendorong pelan dada Si Anak Prancis dengan telunjuknya pada kata terakhirnya, dimana ketajaman suaranya semakin meningkat seiring menuju akhir. Mengingatkannya, bahwa ia akan tersayat jauh lebih dalam jika mencoba mencampuri masalah lebih besar yang bukan miliknya. Tak ada beban lagi. Arianne tidak ingin berada selingkungan dengan orang-orang sok ini lagi. Ia berbalik untuk mengambil tasnya dan pergi menjauh sesegera mungkin.
***
Arianne segera berbalik, meniatkan dirinya untuk pergi secepatnya. Mungkin sekalian menarik Merovingian pergi agar mereka bisa bermain atau membaca buku bersama. Namun belum selangkahpun berhasil dibuatnya, tangannya sudah tersentak keras, ditarik seseorang dari belakang, membuatnya terhuyung dan berbalik, hanya untuk mendapati bahwa Si Anak Prancis menahan bahu Arianne dengan lengannya agar tidak jatuh, dan itu memang menghindarkan Arianne dari kemungkinan jatuh. Tapi...
Arianne mendongak. Dan detik berikutnya ia sadar akan satu hal: posisi mereka sangat dekat. Terlalu dekat, malah.
Ia mendapati bahwa wajah Prancis itu tidak sedang tersenyum bodoh atau menampakkan ekspresi sok pahlawan seperti tadi. Yang ada hanyalah wajah serius dengan tatapan tajam mencari. Sudut-sudut bibir Arianne berkedut, sedikit tersenyum miris, matanya balas memandang galak, menembus lautan biru di bola mata lawannya, sorot dingin tak hilang dari iris matanya yang berwarna coklat, beku. Seakan bertanya menantang,
jadi kau mau apa, heh? Arianne sama sekali tak takut padanya, meski kelamaan sorot mata biru itu seakan menuntut yang lain, entah apa, membuat Arianne gelisah. Ia sudah akan berteriak minta dilepaskan ketika dirasakannya tekanan di bahunya Melemah. Arianne mundur beberapa langkah. Mengatur kembali desah napasnya.
"Ehm, sorry 'bout that. Aku hanya tidak ingin kamu membenciku gara-gara permen."Ia masih di sana, senyum bodoh dan wajah ramah palsunya telah kembali. Dan kata-kata tak berarti meluncur dari mulutnya, lagi. Tak perlu dipertanyakan lagi, Arianne membalasnya dengan tatapan benci, kata-katanya kini dikeraskan, setengah menghina. "Apakah menarik seseorang, mencengkeramnya, kemudian menatapnya dengan pandangan bego adalah cara orang Prancis meminta maaf? Mengagumkan sekali," ejek Arianne sarkastis. Tangannya mencengkeram pergelangan tangan satunya yang sakit karena ditarik. Kemeja putihnya kini tak lagi rapi akibat insiden penarikan itu. Rambut coklatnya tak beraturan, helai-helai terluarnya ditiup angin.
"Sedang apa kau dengan dia?"Teriakan seorang anak perempuan menggaung di tengah ketegangan yang terjadi. Arianne menoleh. Si nona-pirang-bangsawan-Prancis-yang-angkuh rupanya. Yang pernah ditemui Arianne di Leaky Cauldron. Ia menunjuk-nunjuk Arianne, yang dibalas Arianne dengan ekspresi tak suka. Tak lama, suara anak perempuan lain terdengar, mendesis pada Arianne dan menyapa ramah pada Si Anak Prancis. Blanche, rupanya itu namanya. Anak perempuan pirang yang sempat sekompartemen dengan Arianne. Arianne mengernyit kesal melihat kedatangan kedua orang itu. Dan digantikan oleh ekspresi murka tatkala pemahaman menguasainya.
"Jadi ini alasan sebenarnya kau menarikku, eh? Supaya aku tidak pergi dan teman-temanmu datang dan bisa mengeroyokku?" seru Arianne marah, menatap dingin semua pendatang baru itu. Ia tidak suka dikeroyok. Sudah cukup pengalamannya dengan hal itu, terlebih ketika terakhir kali ia melihat Mark terluka parah akibat dipukuli dan Will mengalami shock berat. "Pengecut!" desisnya amat merendahkan.
***
Arianne hanya memandang dingin si gadis pirang yang sempat sekompartemen dengannya itu, yang sekarang menjawab pertanyaan Arianne dengan nada santai, soal bahwa ia tak berniat mengeroyok Arianne karena ia punya otak walaupun dia disebut nona alien imbisil, dan bahwa ia tak mengenal si nona-bangsawan-pirang-yang-angkuh. Ia juga memperkenalkan namanya dengan nada ramah, walaupun ekspresinya lain. Tak sinkron, artinya palsu. Arianne memandang si Roosevelt dengan pandangan menilai. "Ya. Namaku Arianne Ravell. Dan kalau kau memang punya otak, maka kau takkan coba-coba campuri urusanku, Miss Roosevelt. Kecuali kalau kau punya kepentingan di dalamnya," tukas Arianne akhirnya, masih melancarkan tatapan membekukan, sementara tangannya menggosok-gosok pergelangan tangan satunya.
Otak Arianne secara otomatis memutar balik, mengingat apalagi yang dikatakan Roosevelt itu.
Cemburu? Idola? Apa urusannya sampai-sampai harus cemburu pada Arianne? Idola, anak laki-laki Prancis ini? Yang benar saja. Apa bagusnya dia? batin Arianne setengah mengejek. Matanya mengerling pada Blanche, yang ada di antara- eh, kemana dia? Arianne menggerakkan kepalanya sedikit sampai mendapati Blanche ditarik dan diceramahi oleh anak perempuan berambut panjang yang tadinya ada di atas pohon. Sejak kapan ia turun?
"Mademoiselle, maafkan temanku ini,"Si anak perempuan berambut panjang yang sama-sama Gryffindor, seperti Blanche, memintakan maaf untuk anak Prancis itu. Apa karena mereka sama-sama dari Prancis, eh? Memangnya ada soldaritas macam ini di Prancis? Antar-teman?
Hmmph, tak mungkin, jika mereka bahkan bersedia memutuskan hubungan hanya karena status darah. Bodoh kau, Arianne, batinnya pahit. Arianne memandang Blanche beberapa saat dengan tatapan masih agak marah, sebelum akhirnya memutuskan.
"Sedang kerepotan, eh, Phil? Memang susag kalau punya banyak penggemar.
Arianne, Kamisama, ada apa dengan soal keroyok-mengeroyok ini?""Yusuke!" seru Arianne sambil berbalik, hampir tanpa berpikir. Ia memang tak perlu lagi melihat rupa orang tersebut, ia telah hapal dalam dua tiga kali pertemuan. Raut wajahnya berubah senang begitu melihat Yusuke, dan tangannya bergerak memeluk lengan Yusuke. "Dia. Menggangguku," kata Arianne lugas sambil memasang tampang cemberut saat mengalihkan pandangannya ke arah Blanche, "Sudahlah, tak usah urusi dia. Apa yang kaulakukan di sini, Yusuke? Apa kau sudah mendapatkan sapumu? Sayang sekali aku melewatkan pelajaran terbang pertamaku karena dua hari yang lalu aku sakit," celotehnya riang, mengacuhkan semua orang yang ada di sekitarnya. Matanya melirik sekilas, dan menangkap Roosevelt menangis. "Eh, kenapa dia? Cemburu?" celetuk Arianne. Arianne memandangnya sejenak, sebelum menambahkan, "Bukan salahku."
***
"Memangnya minta maaf dibilang mengganggu ya?Arianne mendelik sebal mendengar penjelasan si gadis berambut panjang, yang kemudian diakhiri dengan pertanyaan soal apakah minta maaf termasuk mengganggu. Tentu saja jawabannya sudah jelas, tidak. Tapi jika cara meminta maafnya seperti yang dilakukan Blanche -datang saat Arianne sedang bersitegang dengan orang lain, menjejalinya permen aneh, dan mencampuri urusannya, kemudian lebih jauh lagi, menarik Arianne hingga pergelangan tangannya sakit dan membuat anak-anak perempuan itu berdatangan dan memandang sinis Arianne- apakah itu tidak termasuk mengganggu? Tapi Arianne tidak menjawab atau menimpali sedikitpun. Ia hanya memandang kesal sambil tetap memeluk lengan Yusuke, dan membatin kesal,
Aku bukan anak Asia. Kernyitan heran bercampur kesal menghiasi wajahnya.
Roosevelt menjawab pertanyaan Arianne, bahwa bibinya meninggal gara-gara keracunan. Arianne hanya bisa menatap kosong anak perempuan itu yang kemudian melanjutkan isaknya. Arianne tak begitu tahu rasanya kehilangan bibi. Ia tak pernah mengenal bibinya. Orangtuanya? Dua orang bodoh itu telah mengakhiri hidupnya di jalanan, dan mungkin tadinya berniat mengajak Arianne ikut serta. Tapi maaf saja, Arianne bisa selamat karena sihir-tak-sengajanya bekerja pada saat itu. Ia tak bersedia menemani mereka mati, dan ia tidak sedih atas kematian mereka. Tidak sama sekali...
Blanche memandang Arianne tajam, dan berkata kalau ia takkan mengganggu lebih lanjut, dan kelihatannya Arianne lebih nyaman berbicara dengan Yusuke daripada dirinya, kemudian menarik si anak berambut panjang untuk pergi. Arianne tidak menanggapinya, dan hanya melirik tanpa minat ketika Blanche melewati Roosevelt, mengacak rambutnya. Yang membuatnya terperanjat adalah teriakan si gadis berambut panjang ketika ia sudah berjalan beberapa langkah dari tempat Roosevelt berdiri. Arianne langsung melepaskan salah satu tangannya dari Yusuke, sementara tangan lainnya turun dan menggenggam tangan Yusuke. Arianne melempar pandangan benci pada mereka.
"KAU MENUDUH AKU BERBOHONG? KALAU BEGITU UNTUK APA DIA MENCAMPURI URUSANKU DAN MENARIK TANGANKU SAMPAI SAKIT? APA NAMANYA ITU KALAU BUKAN MENGGANGGU?" Arianne berteriak keras, membalas kata-kata si anak perempuan berambut panjang yang meleletkan lidahnya dengan mengejek itu. "DAN AKU BUKAN ANAK ASIA, AKU ORANG PRANCIS!" tambahnya kesal. Arianne ingin sekali menyangkal fakta ini, ingin sekali bisa mengatakan dengan lantang kalau ia orang Amerika, karena toh ia tinggal sangat lama di Amerika. Tapi kedua orangtua Arianne adalah orang Prancis, itu tak bisa dipungkiri. Dan Maurice takkan mengizinkan Arianne mengakui dirinya sebagai orang Amerika.
Genggaman hangat dalam tangannya mengingatkannya bahwa ia tak sendirian di situ. Arianne menoleh pada Yusuke dan memandangnya. "Kau percaya padaku kan, Yusuke?" katanya sambil melempar pandang bertanya. Ia tak peduli apa kata anak-anak Prancis itu. Tapi ia jelas tak mau disalah artikan oleh Yusuke.
***
"Er... Nona Ravell, kumohon jangan berteriak lagi..." ucapnya, sambil memegangi telinganya yang sakit.Roosevelt bicara lagi pada Arianne, memintanya diam. Tangan Arianne yang menggenggam tangan Yusuke ditarik segera setelah ia berteriak membalas di gadis Gryffindor berambut panjang. Disusul omelan Yusuke yang melarangnya berteriak. Telunjuknya berada di depan mulut, mengisyaratkan hal yang sama. "Tapi, tapi..." Arianne mencoba membantah, tapi tak ayal menutup mulutnya juga. Ia merengut, kemudian memandang sebal lagi kedua anak Prancis itu yang telah jauh.
"Nona, kalau kau mau Ricotta, ambil saja..." ucapnya sambil mengambil sesuatu dalam sakunya cepat lalu memberikannya pada Ravell. "Aku pergi dulu, aku harus..." terhenti di bagian akhir. "Harus melakukan sesuatu. Bye."Roosevelt tiba-tiba saja sudah ada di dekat Arianne, entah sejak kapan, Arianne tidak melihatnya beranjak mendekatinya. Ia menjejalkan sesuatu bernama Ricotta ke tangan Arianne, kemudian berpamitan. Ia melambai dan segera berlari menuju kastil. Arianne memandangi benda di tangannya, lalu beralih pada Roosevelt yang juga sudah jauh, dilanjutkan melirik Yusuke yang melakukan hal yang sama dengannya, sambil tersenyum tipis. Arianne mengalihkan pandangannya dan memasukkan Ricotta pemberian Roosevelt ke dalam saku roknya,
Genggaman tangan Yusuke pada Arianne terlepas, dan saat Arianne menoleh padanya, terasa tepukan di kepalanya. Tangan Yusuke. Ia menjawab bahwa ia percaya pada Arianne... dan Phil. "Phil?" gumam Arianne bingung, dan baru sedetik kemudian ia sadar bahwa yang dimaksud adalah si Blanche. Berikutnya Yusuke menurunkan tangannya dan menepuk bahu Arianne, dan sambil agak membungkuk agar wajah mereka sejajar, ia bicara lagi.
“aku bicara begitu karena aku percaya pada kalian berdua. Aku tahu kalian jujur. Hanya saja, Phil tak berani berkata apapun karena terlalu banyak yang menyudutkannya. Aku kenal Phil sejak setahun lalu, dan memang itulah sifatnya. Tak suka disudutkan,”
“dan kau, Arianne, aku memang baru mengenalmu sebentar. Aku juga percaya padamu. Hakmu untuk marah jika kau memang merasa terganggu seperti yang kau katakan. Dan yang perlu kau ketahui, Phil tidak mengeroyokmu. Anak-anak perempuan tadi adalah penggemar—tidak, anak-anak yang naksir Phil. Itu semua hanya salah paham. Sekali lagi, SALAH PAHAM,“Arianne membiarkan Yusuke bicara sampai selesai dan membuat ekspresinya biasa saja, hingga sampai ke akhir kalimat. Seringainya muncul mendengar kata-kata Yusuke. "Naksir, Yusuke?" tanyanya dengan cengiran lebar yang jarang sekali ditunjukkannya, "Umur mereka berapa sih? Hahaha... Aku tidak tahu bahwa di Inggris umur sebelas tahun sudah mulai rebutan cowok," katanya, tangannya menyingkirkan rambutnya yang terbang menutupi wajahnya. "Aku tidak akan menyudutkan Blanche kalau dia tidak menggangguku, dan tidak akan menuduh orang lain dengan cepat kalau tidak ada kepastian," sambung Arianne. "Mau kembali ke kastil?"
Dicabutnya tongkat sihirnya yang disembunyikan di caku roknya, dan dilambaikannya tongkat itu. "Wingardium Leviosa," ujarnya berirama, dan tasnya yang tergeletak di tanah segera melayang menghampirinya. Arianne menangkap tas itu, dan menyelempangkannya di pundaknya. Ia memandang dingin Chastain yang masih berdiri di tempatnya semula, entah apa yang dilakukannya sejak tadi, dan mengalihkan pandangannya ke kasti. Ditariknya tangan Yusuke sambil berjalan, "Ayo kita pergi!"