Pintu telah tertutup di belakang tubuh Arianne. Ia telah bersiap mengetuk batu bata yang akan membuat gerbang menuju Diagon Alley terbuka ketika diingatnya satu hal. Ia lupa membawa perkamen daftar perkiraan harga barang yang harus dibelinya di Diagon Alley! Padahal itu penting sekali. Ia yang mencatat dan mengkalkulasikannya sendiri, agar tidak salah. Maurice hanya mendiktekan kira-kira berapa harga barang A dan B dan seterusnya, sementara Arianne mencatatnya dan akhirnya memperkirakan berapa galleon yang dibutuhkannya untuk keperluan sekolahnya selama setahun. Idiot, gerutunya dalam hati, kemudian berbalik untuk kembali ke kamarnya.
Arianne membuka pintu, dan berpapasan dengan dua orang anak laki-laki, namun ia tak mengindahkan keduanya. Mereka berpapasan begitu saja tanpa menimbulkan kesan berarti. Matanya menjelajah sekilas, dan menemukan bahwa dalam kurum waktu beberapa puluh detik ia berada di halaman belakang Leaky Cauldron, tempat itu telah jauh lebih penuh daripada sebelumnya. Kini beberapa meja telah dikerumuni beberapa anak. Kebanyakan hanya membahas beberapa topik tak penting dan berkenalan tak berbobot. Kadang beberapa anak dengan tidak sopannya berbicara dengan suara keras, memekakkan telinga. Arianne bahkan tak perlu berhenti, ia tetap berjalan perlahan menuju ke kaki tangga, tapi ia masih sempat melempar pandang mencela pada anak-anak itu.
"Hmm... hati-hati tersesat," kata Friday pada anak lelaki itu. "Anak ini baru pertama kali ke Diagon Alley. Kau juga. Hati-hati saja diseret nenek sihir jahat ke Knockturn Alley. Kalau aku, sih telah hafal dengan baik Diagon Alley. Jadi aku tak takut akan tersesat."Suara seorang anak perempuan mampir ke telinganya, kata-katanya agak sarkastis, menyindir meskipun mungkin kata-katanya benar dan diucapkan dalam nada yang biasa saja. Ah, tidak, menurut Arianne itu justru menyesatkan. Nada biasa -seperti yang sering digunakannya juga- bisa menyimpan seribu arti. Dan kata-kata tersesat itu... mana mungkin. Konyol.
Dan kemudian kata-kata lain juga terdengar olehnya, dari seorang anak perempuan pirang. Hallo... Hva er Deres navn?" Bahasa yang asing baginya. Arianne mengacuhkan anak itu. Ini Inggris kan, jadi berbicaralah sesuai bahasanya. Masa bodoh dengan anak itu.
"Jangan bodoh. Di Diagon Alley toko-tokonya memiliki papan nama, jadi tidak mungkin kau salah masuk toko. Lagipula, meskipun jalannya berkelok-kelok tetap saja jalan besar itu cuma satu arah. Satu-satunya percabangan hanya menuju ke Knockturn Alley, dan itupun berpapan nama. Jadi, bodoh sekali kalau kau tersesat," ujar Arianne dalam kata-kata cepat namun jelas. Ia telah berhenti untuk 'ikut campur' dalam urusan 'kelompok' itu. Hatinya merutuk, namun ia tak bisa menghentikan dirinya sendiri untuk melakukan tindakan bodoh itu.
Matanya memandang gadis itu dengan pandangan biasa, meskipun sebenarnya menilai. Sepertinya gadis ini orang yang sok? Entahlah. Arianne mengusap dahinya pelan, menyingkirkan poninya yang agak mengganggu.
***
"Cómo? No entiendo. Hablas Ingles? Hablas Español?""Ah, no? No importa... Está bien. No me importa por tú."Gadis sok tahu yang membawa-bawa pena bulu pink -Arianne baru menyadari bahwa warnanya pink- menimpali kata-kata si gadis pirang, kemudian melanjutkan kata-katanya menimpali kata-kata Arianne.
"Nona berpengetahuan luas," kata Friday tenang sambil melipat tangannya di depan dada. "Memang ada beberapa anak bodoh yang pernah tersesat di Diagon Alley, kalau kau mau tahu. Aku bukan termasuk diantara mereka dan kuharap dengan sepenuh hati kau juga tidak begitu. Aku hanya memperingatkan mereka yang belum pernah pergi kesana, itu saja. Bukankah aku sungguh anak yang baik?"Gadis itu melipat tangannya di depan dada dan tersenyum, namun Arianne tahu bahwa itu... palsu. Arianne benci senyum palsu. Matanya mengatakan lain. Arianne berdecak sedikit dan berkata sambil menyilang tangan di depan dada juga, "Dan juga bukan aku, aku takkan tersesat bahkan dalam kunjungan pertamaku."
Baik, hmmph, seperti aku tak tahu maksudmu saja! gerutunya dalam hati, masih memandangi gadis berpena bulu pink itu dengan lirikan sebal.
"God etter middag , Frk. Kanskje JEG sitte her over?" sapa Rigel pada gadis itu ramah, tak lupa senyumannya. Rigel mengedikkan kepalanya sedikit pada anak-anak lainnya, dan mengulangi sapaannya dalam Bahasa Inggris. "Halo. Keberatan kalau aku ikut duduk?" katanya.Arianne mengangkat alisnya, amat sedikit. Seorang anak laki-laki pirang menghampiri mereka dan berucap kata-kata aneh, kemudian disusul dengan mengucapkan permintaan untuk ikut duduk. Sepertinya itu adalah terjemahan dari kata-kata anehnya? Arianne membiarkan anak itu melakukan apapun yang disukainya, salah satunya karena ia tak mau terlihat bodoh karena menanggapi dengan salah kata-kata anak itu, hal lainnya karena apa yang dilakukan anak laki-laki nitu bukanlah urusannya.
"Waarom jullie spraken niet Engels?"Datang lagi seorang anak perempuan, mengatakan bahasa asing lagi, dan ia membawa seekor..... kadal? Eh, bukan, iguana, yeah... Arianne pernah melihat gambarnya di salah satu buku tebal milik Maurice, saat Arianne mengintip dan membaca-baca buku di raknya karena penasaran.
"Callate!" balasnya sedikit kesal. "Hablar Ingles. Entiendes?""Bi-ca-ra," katanya perlahan, memisahkan antar suku kata agar anak itu mengerti. "Ba-ha-sa Ing-gris. Me-nger-ti?"Gadis itu... Akhirnya mengatakan sesuatu yang masuk akan dan benar. Untuk sesaat pupil mata Arianne melebar karenanya. Kemudian seulas senyum samar muncul di bibirnya, sedikit senang karena akhirnya ada sedikit persamaan dengan gadis berpena bulu-pink itu. Keinginan meluruskan bahasa. "Benar, ini Inggris," katanya singkat tanpa nada yang tidak perlu.
"O , Parece venimos desde diferente país does no él?"Bahasa asing lagi. Oh ya ampun, tak bisakah mereka bicara dengan bahasa 'normal'? Kemudian gadis berwajah Latin (buku Maurice lagi. Oh ya ampun, benar-benar berguna rupanya membaca semua buku-buku anehnya!) melanjutkan kata-katanya.
"Ternyata penyihir itu berasal dari semua negara yah. Aku malah menyangka penyihir itu berasal dari bulan, terutama nenek sihir yang cekikikan dan siluetnya menutupi sinar bulan. Ternyata penyihir hanya berasal dari masing-masing negara. Bukankah begitu?"Arianne hampir saja -cuma hampir, tapi belum- memutar bola matanya mendengar kata-kata bodoh penuh khayalan gadis itu. Penyihir dari bulan? Yang benar saja! Tapi tak baik mengomentari kata-kata orang lain yang tak bertujuan menyakitimu. Gadis itu langsung menoleh setelah berkata-kata, yang arah pandangannya diikuti Arianne. Arianne melihat seorang gadis menjatuhkan es krimnya. Usia mereka mungkin tak jauh berbeda.
"Ohhh... di mana aku bisa membeli es krim Nona? Apakah itu Es Krim sihir? Apa yang terjadi jika kau meminum itu?" tanya Cassandra yang sekarang menatap gadis itu dengan seksama, "Ooohhh... matamu sedikit basah, Nona. Apakah es krim sihir akan memberikanmu air mata peri?" tanya Cassandra masih menatap gadis kecil itu, dengan seksama.Gadis ini... gila ya? tanyanya capek dalam hati. Tapi sebagian kecil otaknya memberitahu, para penyihir itu eksentrik, dan memang banyak hal tak masuk akal di dunia sihir.
Gadis pirang yang datang sebelum Arianne, akhirnya bicara juga, dan Arianne tak heran kalau kata-katanya tidak menyenangkan. Sepertinya ia tak mengerti apa yang dikatakan anak-anak ini, karena rona mukanya memerah dan ekspresi wajahnya menunjukkan itu. Bodoh sekali menunjukkan kelemahanmu di hadapan orang lain seperti itu.
"Walaupun kita berasal dari negara yang berbeda... kurasa aku berbeda jauh dari kalian. Kalian orang rendahan, sementara aku.. bangsawan."Bangsawan murahan, tukas Arianne tanpa pikir panjang dalam hatinya. Ia tak biasa mengucapkan langsung semua yang ada di pikirannya, semuanya selalu penuh pertimbangan. Tapi untuk yang ini, Arianne sebenarnya sama sekali tak keberatan mengucapkannya. Memang benar, bangsawan murahan. Kalau kau bangsawan, maka kuasai bahasa sebanyak mungkin, dan jangan menunjukkan ekspresi lemah di hadapan lawan bicaramu! Arianne memang tidak mengerti sedikitpun kata-kata asing yang diucapkan anak-anak itu, tapi itu karena Arianne menolak mempelajarinya. Kini ia agak menyesal dengan keputusannya waktu itu. Arianne sudah akan mengulangi kata-kata non-verbalnya tadi ke anak perempuan pirang itu, tapi sebuah suara menghentikannya.
"Kalian--kalian mengapa tidak menggunakan bahasa internasional? Bahasa Inggris?" Tanyanya, lalu senyuman dingin muncul di bibirnya.Seorang anak laki-laki, membawa selembar perkamen bertulisan aneh, tapi cuma dipandang sekilas oleh Arianne, bertanya tentang kenapa mereka tidak menggunakan bahasa Inggris. Arianne hanya bisa mengangkat bahu untuk menjawabnya.
***
Si anak perempuan pirang yang ada di antara mereka -bukan anak perempuan pirang yang sok bangsawan itu- tersenyum pada Arianne. Arianne tak menanggapinya, meski ia menganggap sepertinya senyum itu senyum yang tulus.
"Tak ada alasan khusus. Hanya iseng, karena Nona itu bicara Bahasa Norwegia," jawab Rigel sekenanya, masih tetap memberikan senyumannya.Si anak laki-laki pirang bicara lagi, menanggapi kata-kata si nona pembawa iguana. Hooh, bukannya untuk pamer, eh? Kilat tak percaya melintas di mata Arianne, namun ia tak bicara sepatah katapun. Dan anak laki-laki itu berkata-kata menjawab situasi-situasi yang disodorkan di hadapannya, mulai dari si gadis yang menjatuhkan es krim sampai kata-kata yang dilontarkan di gadis yang mengira penyihir berasal dari bulan.
"Ada apa denganmu, Nona? Tersandung sampai es krim-mu jatuh?" "Kau Pureblood?""Darah-Lumpur,"Arianne semakin menatap tajam si anak laki-laki pirang. Tadi pura-pura baik dan terus-terusan tersenyum pada setiap anak. Tak diragukan lagi itu cuma senyum palsu.
Pendusta, batinnya sinis, dan dua kalimat terakhir semakin meyakinkannya bahwa anak laki-laki itu tidak baik.
Pecinta darah murni, lagi, lanjutnya masih dalam hati. Pasti orang ini sejenis dengan kakek Arianne, menyebalkan. Arianne melirik di gadis yang disebut Darah Lumpur, melihat reaksinya, apakah dia mengerti dengan sebutan itu.
"Maaf saja, Nona, aku hanya berkata sekali dalam bahasa Norwegia. Maafkan aku sudah membuatmu terintimidasi karena kau tidak mengerti bahasa tersebut,""Maaf kalau aku membuatmu marah, Nona. Aku tidak mengira kalau Anda juga bangsawan, sama sepertiku. Penampilan bisa menipu, rupanya," kata Rigel pada gadis itu, sengaja memberikan penekanan pada kata 'juga'. Gadis ini harus tahu, kalau dia bukanlah satu-satunya bangsawan di sini.Anak laki-laki pirang itu menanggapi ucapan angkuh si gadis pirang. Dan menekankan kata 'juga' pada kalimatnya.
Yeah, mereka akan cocok, gadis bangsawan pirang yang angkuh dan pemuda bangsawan pirang pecinta darah murni. Entah kenapa Arianne hari ini terus membatin, sedikit lebih sering dari biasanya. Dan sering bernada sarkastis. Tapi situasi di sekitarnya memang membuatnya melakukan hal itu.
"Bangsawan? Memangnya kenapa? Ternyata statusmu tidak membuatmu lebih pintar atau lebih baik atau lebih apa dariku. Well, bang-sa-wan... ouh! Apa yang harus kulakukan padamu sekarang? Berlutut dan mencium kakimu, eh?"Arianne hampir terlonjak mendengar kata-kata si gadis sok tahu berpena bulu pink. Mulutnya hampir membentuk seringai sekarang, tapi ditahannya. Bisa juga gadis itu berkata-kata berani seperti itu. Ah, tidak, daritadi juga dia berkata-kata 'jujur', meskipun Arianne tetap tidak suka dengan kalimat pertama yang didengarnya di awal. "Mungkin ia memintamu menjilat sepatunya karena dia bangsawan," timpal Arianne sambil menatap sebal ke si gadis pirang, menekankan pada kata bangsawan dengan nada merendahkan. Tangannya masih terlipat di dada.
"Bukan berarti aku tidak bisa Bahasa Inggris. Aku hanya belum terbiasa berbahasa Inggris. Aku baru tiba di negara ini dua hari lalu, pour l'amour de Dieu!"Lengkap sudah. Terbukti. Kini Arianne tahu kenapa sejak tadi ia merasa janggal dan tidak nyaman dengan anak laki-laki ini. Mulai dari senyum palsunya, kata-kata manis menjilatnya, keangkuhannya, dan kecintaannya pada Darah-Murni. "Prancis, pecinta darah murni," desis Arianne dengan nada sebal samar. Anak yang sejenis dengan kakeknya, mereka akan cocok sekali.
"Kau mau ke Diagon Alley?" Arianne menoleh pada si anak yang membawa kertas bertulisan aneh itu, bukan ke gadis berambut hitam yang membawa iguana itu. Ia berusaha tidak berkata ketus, "Mereka sedang unjuk gigi, untuk memberitahukan asal, barangkali. Sebaiknya kau pergi kalau tidak tahan atau tidak mengerti, atau ikut saja dengan gadis yang membawa iguana dan gadis itu ke Diagon Alley," ujar Arianne sambil mengedikkan kepalanya pada gadis berpena bulu pink yang baru saja mengajak anak-anak yang mau mengikutinya. Dan si gadis yang mengira penyihir itu dari bulan... "Kau mungkin lebih baik pergi dengannya juga, daripada jadi salah satu anak bodoh yang tersesat," kata Arianne pada gadis itu. Dan Arianne berbalik untuk melangkah menuju tangga, mengambil perkamennya yang tertinggal di kamar.