Arianne menyusuri jalan berkelok-kelok itu sekali lagi, di hari terakhirnya sebelum pergi ke King's Cross. Stasiun itu adalah tempat pemberangkatan para siswa Hogwarts menuju ke kastil tempat mereka akan tinggal selama tujuh tahun ajaran. Sebuah kereta bernama Hogwarts Ekspresslah yang akan membawa mereka semua menuju sebuah tempat terpencil di mana Muggle tidak bisa menemukannya apalagi menjamahnya. Arianne sedikit menyukai tempat ajaib ini, karenanya ia memutuskan berjalan-jalan untuk mengetahui lebih detil sudut-sudut tempat ini.
Ia melewati toko-toko yang pernah dikunjunginya, melihat beberapa etalase luar toko-toko yang menurutmua menarik perhatian, atau kadang masuk ke dalam toko yang terlihat ramai, untuk mengatahui apa yang orang-orang lihat di toko itu. Arianne tidak terburu-buru, ia berjalan santai saja dan tidak berusaha mendesak orang-orang jika mereka berkerumun. Ia tidak ingin mandi keringat dalam hari seperti ini. Ia baru saja mandi dan tak ingin rambutnya rusak dan kusut hanya karena hal sepele.
Sampai kemudian ia tiba di sebuah tempat ang belum dikunjunginya. Pada displaynya ia melihat sebuah sapu dipajang. Arianne melihatnya dengan tertarik. Ia sudah membawa sebuah buku tua tentang sapu, tentu saja milik Maurice, dan menyenangkan sekali gambaran mengenai terbang yang ia baca. Padahal Arianne tidak terlalu suka pada ketinggian. Tapi membayangkan rambutnya akan berterbangan disibak angin, suara gemuruh yang mampir di telinganya tatkala ia terbang dalam kecepatan tinggi, sungguh mendebarkan. Arianne mendorong pintu toko itu dan masuk dengan tamparng agak penasaran.
Isi toko itu lumayan lengkap rupanya. Selain sapu, ada juga peralatan Quidditch. Arianne mengingat sekilas nama toko itu. Peralatan Quidditch berkualitas. Tentu saja, bodoh. Quidditch nampaknya olahraga yang menyenangkan juga. Nampak seperti basket, namun dengan tiga keranjang dan dua pemain tambahan. Dan mainnya naik sapu terbang. Arianne hanya bisa membacanya saja, namun belumn pernah memainkannya. Tidak menyenangkan kalau cuma membaca. Jadi, akhirnya Arianne memutuskan untuk melihat-lihat, hingga beberapa saat kemudian ia mendengar gumaman seseorang.
"Yang mana yang cocok untukku..?"Arianne menoleh, dan melihat seorang anak laki-laki berkulit hitam yang memakai topi sedang melihat-lihat sapu juga sepertinya, namun di sisi yang tidak sama dengan Arianne. Melihatnya, membuat Arianne teringat pada salah satu tetangganya, Mark. Mark adalah keturunan negro sehingga kulitnya hitam. Anak itu pintar sekali olahraga, terutama basket dan baseball. Arianne kadang diajaknya bermain, meskipun terkadang Arianne menolak, jika Arianne mengetahui akan ada yang menonton permainan mereka.
Jika sepi-sepi saja, maka Arianne dan anak-anak laki-laki di area itu akan menyerbu lapangan dan mulai bermain, entah baseball atau basket. Arianne sendiri sebenarnya tidak terlalu mahir untuk urusan begini, tapi ia menyukainya, bermain dengan anak laki-laki di lingkungan tempat tinggalnya. Anak-anak laki-laki itu juga tidak keberatan dengan kehadiran Arianne meskipun terkadang Arianne malah mengacaukan permainan mereka karena memukul ke arah yang salah atau malah melempar bola basket ke salah seorang dari mereka. Mungkin hal itu karena Arianne tidak rese seperti anak perempuan lain di area itu. Tidak, ia tidak lagi suka bermain boneka atau rumah-rumahan seperti anak perempuan manja pada umumnya.
Arianne kembali memperhatikan anak itu. Ahh, sepertinya tidak mirip Mark. Mark kulitnya lebih legam dan badannya bahkan lebih besar. Tapi entah mereka seusia atau tidak. Bisa saja Mark lebih tua daripada anak hitam itu. Lalu anak ini juga mengenakan kacamata. Mark tidak. Arianne mendekati anak itu akhirnya, karena rasa penasaran lebih tepatnya.
"Kurasa Panah Perak sapu yang paling keren," kata Arianne menimpali kata-kata anak itu sambil mendekatinya. Arianne berbicara dengan cara yang digunakannya kalau menghadapi anak laki-laki yang ada di lingkungan rumahnya. Sepertinya mereka setipe. "Tapi entah di toko ini ada atau tidak. Sepupuku juga punya Panah Perak, tapi tahun lalu dia mengirimnya balik ke rumah orangtuanya karena takut ketahuan Muggle dekat rumah kami. Tapi aku pernah melihatnya terbang sekali, benar-benar keren dan luwes," kata Arianne akhirnya panjang lebar. Heran, biasanya ia hanya bicara beberapa patah kata dengan orang lain, dan itupun tak lepas dari nada sinis atau tekanan topengnya. Tapi sekarang ia bicara bagaikan bicara pada Mark dan Will saja.
"Kalau tidak ada, Nimbus 1970 juga oke. Sapu itu tidak terlalu mahal untuk ukuran sapu bagus, dan tidak kalah jauh dengan sapu model terbaru sekalipun," tambah Arianne sambil memperhatikan sapu di depannya.
***
"Kau anak tahun pertama, ya? Aku tak pernah melihatmu sebelumnya..," ujar Yusuke pada anak itu, "..dan terima kasih atas saranmu. Mengenai Panah Perak, toko ini menjualnya, barusan aku melihat daftar harganya. Tapi kalau yang cepat dan lincah untuk Quidditch, menurutmu yang mana? Panah Perak atau Nimbus 1970? Ketika memakai sapu di sekolah aku merasa kurang nyaman, mengingat sapu Hogwarts sudah mulai butut, tapi sapu yang kupakai waktu itu kalau tak salah merknya adalah Sapu Bersih," kata Yusuke panjang lebar sambil menatap etalase lagi.Arianne menoleh sedikit mendengar si anak laki-laki itu membalas perkataannya. Tadi Arianne sempat melihat anak itu melepas kacamatanya dan mengelapnya dengan T-shirtnya. Wah, susah ya menjadi orang dengan mata minus atau plus. Harus sering-sering mengelap kacamata yang dikenakan. Belum lagi kalau hujan, pasti kebasahan kalau tak dilepas, atau bisa jadi berembun. Padahal melepas kacamata itu membuat pusing, apalagi jika minus atau plusnya besar. Atau kalau kepanasan, kacamatamu bisa melorot turun dari hidungmu akibat keringat. Dan entah teknologi apa yang bisa menyembuhkan mata seperti itu. Tidak, Arianne bukan membacanya dari buku. Ia hanya sering melihat salah satu teman sekolahnya, Edward yang culun, sering bolak-balik menaikkan kacamatanya kalau hari panas.
Kenapa ia jadi malah memikirkan hal seperti itu? Arianne mencoba untuk memfokuskan lagi pikirannya pada pertanyaan anak itu.
Apa katanya tadi? Sapu yang cepat dan lincah untuk Quidditch? tanyanya dalam hati. Yeah, itu. Arianne sekarang tersenyum samar. Terlihat jelas sekarang bahwa anak itu berbeda dengan Mark. Mark tidak mungkin menanyakan sepeda yang cepat dan lincah, atau pemukul yang kuat dan handal. Yang akan dikatakannya justru, "Sepeda itu keren tidak?" kemudian disusul suara tawa khas Mark dan tonjokan main-main di bahu Arianne atau tangan yang menarik topi Arianne hingga menutupi wajahnya. Tapi sepertinya hobinya kurang lebih sama dengan Mark, berarti mereka setipe, dan orang yang setipe dengan Mark mungkin bisa berkomunikasi dengan baik dengan Arianne.
"Umm... kau main Quidditch ya? Panah Perak keseimbangannya bagus dan bisa membelok dengan bagus, tapi Nimbus lebih cepat. Tergantung kau lebih mengutamakan yang mana, dan kau main di posisi apa," kata Arianne sambil berpikir-pikir, dan memandangi sapu lagi. Rasanya menggelikan, berdiri di depan etalase sapu dan mengobrol tapi tidak saling pandang. Tidak sopan memang, tapi sepertinya ini lebih baik. "Aku tidak suka Sapu Bersih," tambah Arianne lagi, namun tidak mengutarakan alasannya.
Benak Arianne mengatakan bahwa ada yang dilewatkannya tadi. Ia bergegas mencari-cari dalam file otaknya. Memang sepertinya ada yang dikatakan anak itu sebelum meminta pendapatnya mengenai sapu, tapi apa ya? Selintas potongan-potongan percakapan lewat di benaknya.
Kau anak tahun pertama, ya? Aku tak pernah melihatmu sebelumnya..Ketika memakai sapu di sekolah aku merasa kurang nyaman, mengingat sapu Hogwarts sudah mulai butut,Jadi dia murid Hogwarts? batinnya bertanya. Arianne menoleh dan akhirnya tersenyum sambil agak mendongak menatap si anak laki-laki di sebelahnya. "Aku baru mau masuk. Arianne Ravell," ujarnya, kemudian memiringkan kepalanya sedikit sebelum balik bertanya, "namamu siapa?"
***
Si anak laki-laki hitam mengatakan bahwa dia main Quidditch dan masuk tim namun tak yakin bisa masuk tim inti karena kakak kelasnya jauh lebih hebat-hebat. Ia juga mengutarakan bahwa dia berposisi beater tapi karena dia cadangan maka mau tak mau harus mau ditempatkan di mana saja. Dan katanya ia juga tak menyukai Sapu Bersih yang kurang lincah. Anak itu akhirnya nyengir lebar sambil menyebutkan namanya, Yusuke Sawada. Dan ia adalah murid tahun kedua.
Arianne mengernyitkan dahi sedikit mendengar kata-kata anak itu, terutama setelah mendengar namanya yang aneh. "Sawada, rite. Kalau begitu jadi beater saja. Harus sesuai bakat dan kesukaanmu. Kalau tidak suka tak perlu main. Dan jangan minder begitu. Biar saja kau tak mahir, yang penting kau senang. Main Quidditch harusnya menyenangkan, ya kan? Aku juga tak mahir main basket dan baseball, tapi aku tetap main." Arianne teringat soal Sapu Bersih tadi. "Bukan, bukan, bukan karena itu," ujarnya sambil tergelak, "sapu bersih berarti," Arianne menggerakkan jarinya membuat gerakan memotong lehernya sendiri, "habisi! Mengerti?" katanya sambil tertawa lagi.
Sawada mengatakan bahwa ia akan beli Nimbus saja, juga soal Arianne yang tahu banyak soal sapu dan bertanya apakah Arianne tak berminat membeli sapu. Lalu sambil nyengir lagi ia menyarankan Arianne untuk menitipkan sapunya pada keluarganya kalau mau beli sapu.
Arianne menggeleng cepat saat ditanya soal sapu itu. Ia tahu bahwa anak kelas satu tak boleh membawa sapu terbang ke Hogwarts. Entah untuk apa peraturan itu dibuat. Menurut Arianne tak ada gunanya, mereka toh belajar terbang juga di Hogwarts. Tapi apa boleh buat... Raut wajah Arianne mengeras sesaat ketika Sawada mengungkit soal keluarga. "Tidak, aku takkan beli sapu."
Aku tak punya keluarga, sambungnya dalam hati. "Nanti aku pinjam punyamu saja deh ya. Dan err... Kalau kau nyengir terus kau jadi seperti orang sakit gigi," tambah Arianne sambil tertawa lagi.