Tongkat sudah didapat. Galleonnya masih bergemerincing dalam sakunya. Arianne telah membuka kotak tongkatnya dan memasukkan tongkatnya ke dalam saku jeansnya, siapa tahu diperlukan (meskipun ia sebenarnya belum bisa menyihir sekehendaknya sama sekali) tapi bisa jadi itu diperlukan, paling tidak untuk menggertak, barangkali. Kotak tongkatnya sendiri telah ia jinjing di tangan kirinya, sementara telapak tangan kanannya masih tersembunyi dalam saku jaketnya.
Ia berjalan santai saja, agak berirama malahan, sehingga rambutnya yang diikat dua bergoyang-goyang sedikit, rambut panjangnya melanbai-lambai dan bergerak mengikuti gerakannya atau arah angin. Tujuannya telah jelas, ia telah merencanakan semuanya dengan baik. Tujuan berikut setelah toko tongkat adalah toko jubah. Arianne memerlukan jubah sihir hitam sebagai seragamnya, sebagaimana yang tertulis di perkamen suratnya, juga atribut seragam lainnya.
Kini ia berdiri di depan toko jubah yang dimaksud. Toko Jubah Madam Malkin. Sebagaimana yang terlihat dari kaca jendela toko, telah ada beberapa anak di sana. Beberapa bahkan terlihat telah saling kenal. Arianne mengangkat bahu sedikit dengan barang-barangnya masih di tangan kiri dan tangan kanan masih di saku jaket, gerakannya tidak kentara. Ia tak terlalu peduli dengan pertemanan yang terjalin karena asal sapa seperti yang dilihatnya di Leaky Cauldron itu. Sok kenal! Kecuali jika sudah terbukti bahwa anak-anak itu memang teman yang baik. Teman yang menemanimu saat senang maupun susah, bukannya malah meninggalkanmu saat bagian yang tidak enak. Dan bukan teman yang memilih teman atas dasar hal tak jelas seperti status darah...
Ia melangkah maju. Didorongnya pintu toko dengan tangan kanannya yang bebas, yang sudah dikeluarkannya dari sakunya, dan masuklah ia ke dalam toko itu. Dilihatnya seorang anak perempuan yang sepertinya hanya sedikit lebih tua darinya tengah berbicara pada beberapa anak yang lebih muda.
Masa dia juga anak pemilik toko? batin Arianne merasa aneh. Sekilas dilihatnya juga seorang perempuan muda tengah duduk memperhatikan anak perempuan itu.
Tak mungkin perempuan itu ibunya. Terlalu muda, lagipula anak itu wajahnya amat berbeda dengan wanita muda itu. Wanita muda itu terlihat.... lebih ramah dan lembut, sambungnya, masih dalam hati. Tapi sepertinya wanita muda itu tak mau melayani, dengan suatu alasan. Karenanya, Arianne tak punya pilihan, ia mendekati anak perempuan pirang itu.
"Hei, satu paket khusus," kata Arianne saat mendekat pada gadis itu. Tanpa basa-basi tak penting, toh umur mereka sepertinya tidak jauh, lagipula ia tak butuh berbasa-basi. Ia cuma mau beli jubah. Paket khusus, seperti yang dilihatnya di daftar harga, berisi semua yang diperlukan anak kelas satu. Itu saja yang dipilihnya.
***
Clara menoleh, seorang anak berwajah Asia lagi. Ia mengambil satu paket jubah dan langsung memberikannya kepada anak Asia itu."Oke, nona! Jangan membuat ulah, apalagi keonaran!", ujarnya menggurui. Clara masih terbawa suasana waktu mengetahui ada kembang api. Sekarang ia sama sekali tak cekikikan lagi."Wait! Namamu..! Aku belum tahu namamu!"Arianne mengernyitkan dahinya sedikit mendengar kata-kata menggurui si gadis yang daritadi memandang ke cermin di dekat situ. Membuat keonaran? Seenaknya sekali gadis itu bicara. "Apa maksud kata-katamu? Aku sama sekali tak berniat membuat ulah. Dengan apa?" katanya dengan nada agak sebal. Tapi tetap saja wajahnya tak dibiarkannya berekspresi.
"Arianne Ravell," kata Arianne, singkat saja kali ini, menyebutkan namanya yang ditanyakan oleh si gadis pirang yang sepertinya bukan anak penjaga toko itu. Arianne mengetuk-ngetukkan kakinya menunggu pesanannya datang. Matanya memperhatikan seisi toko yang kini ramai dengan orang. Juga seorang anak perempuan yang sepertinya juga bekerja di situ. Yang ini rambutnya hitam, dan tak banyak bicara seperti gadis yang satu lagi. Kenapa tadi Arianne tak minta dilayani olehnya saja? Oh, sudah terlanjur... sudahlah.
Peralatan jahit bergerak seiring gadis berambut hitam itu menginginkannya. Apakah dia sudah diperbolehkan menggunakan sihir di luar sekolah? Ah, sepertinya tidak. Wanita muda di pojok itu sepertinya diam-diam menggerakkan tongkat sihirnya, pasti dia yang melakukan sihir itu.
***
Si gadis pesolek itu memandang Arianne dengan tatapan aneh. Well, siapa takut. Arianne pun bisa memandangnya dengan tatapan tak kalah sangsi. Menyangsikan kemampuannya dalam bekerja. Dan mengangsikan kemampuannya dalam berbicara jelas. Dari tadi saja maksudnya tidak jelas. Dasar.
"Oke, namamu..? Ah! Arianne Ravell! Oke, itu dia..", ucap Clara sambil menuliskan nama anak itu."135 Galleon! Kau sudah dilayani Clara Fein Flitchley dengan baik, Ravell fu..fu..fu..!", ucap Clara sambil tertawa cekikikan.Arianne hanya mengulurkan tangannya untuk mengambil belanjaannya, di tanga yang berbeda dengan kantong tongkatnya, dan mengangsurkan uangnya sebanyak yang diminta, 135 galleon. Arianne tentu saja sudah menghitung uangnya dengan cermat. Ia tak ingin rugi sedikitpun, apalagi di tangan gadis seperti ini, yang tawa cekikikannya seperti banshee. Setelah keperluannya selesai, Arianne segera melengos pergi, tak ingin berurusan banyak dengan gadis ini lagi.
Clara Fein Flitchey? Siapa yang butuh tahu namamu? batinnya cuek.