Malam itu sepi. Keheningan serasa merajai seakan mengetahui ketegangan seorang gadis kecil yang akan menyongsong takdir besarnya esok lusa. Arianne duduk di tepi jendela di lantai dua, di luar kamarnya, memandang jalanan Muggle di bawahnya yang nampak hiruk pikuk, namun suaranya tak sampai pada Arianne. Meski hanya dihangatkan jaket hitamnya, namun Arianne tak bergeming dari tempatnya, ekspresi tenangnya tetap terjaga meski hatinya gelisah.
Tanggal satu September pukul sebelas siang Arianne akan menaiki kereta api menuju Hogwarts. Ia sudah mengepak pakaiannya dan barang-barangnya dengan cermat. Ia telah membaca semua buku yang dibelinya di Diagon Alley. Ia sudah menyusun garis besar rencana apa yang akan dilakukannya di Hogwarts tahun ini. Singkatnya, Arianne sudah mempersiapkan semua hal yang diperlukannya untuk menjalani tahun ajarannya di Hogwarts. Sekilas, semua ini tampak baik dan terencana. Bahkan lebih dari yang bisa diharapkan dari seorang gadis kecil untuk bisa dilakukannya; anak-anak lain mungkin hanya mengepak dan melakukan hal-hal lain itu atas perintah orangtuanya. Atau lebih buruk lagi, mereka masih mengandalkan orangtuanya atau pelayannya (biasanya para bangsawan sok yang melakukan ini) untuk melakukan semua itu. Arianne sangat gugup untuk esok hari. Well, itu wajar bukan? Setiap anak akan 'demam tinggi' saat masuk di hari pertama ke sekolah barunya? Yeah, seandainya saja begitu.
Namun bagi Arianne, semuanya jauh lebih sulit dan rumit. Lebih menyesakkan daripada disuruh membaca sebuah buku tebal tentang transfigurasi benda mati menjadi benda mati lain bentuk dan harus mengerti isinya dalam sekali baca. Lagipula Arianne memang sudah melakukannya semalam. Mudah. Tidak, baginya pergi ke Hogwarts jauh, jauh lebih menimbulkan kegugupan dibanding yang bisa dirasakan anak lain. Kepergiannya kali ini akan mengubah hidupnya, karena itu berarti ia memutuskan untuk menentang keluarganya, keluarga jauhnya yang sama sekali tak dikenalnya.
Ayah Arianne adalah seorang penyihir sejati, namun sayangnya ibunya adalah squib. Keluarga besar ayahnya, sama sekali tak menyukai kenyataan ini. Merupakan aib memiliki seorang yang tak becus dalam keluarga. Tidak, mereka bukan keluarga bangsawan, tapi jelas squib bukanlah pilihan bagus untuk dimasukkan dalam silsilah keluarga Ravell. Karenanya, Alain -ayah Arianne- diminta -atau dipaksa- memilih, keluarganya, atau wanita itu. Alain memilih Florence, yang itu berarti mereka memutuskan hubungan keluarga, selamanya, sampai ke keturunan-keturunannya.
Arianne mengetahui semua ini dari Maurice, sepupunya. Maurice adalah saudara jauh dari Alain, tinggal sendirian di Amerika setelah lulus sekolah, meninggalkan keluarganya untuk pendewasaan diri, dan mengambil Arianne saat orangtuanya meninggal. Saat itu usia Maurice barulah sembilan belas tahun, dan Arianne berusia lima tahun. Semenjak mengetahui kisah itu, Arianne membenci ayahnya, membenci ibunya, dan terlebih, membenci keluarga ayahnya yang berpikiran sempit. Mereka membuat Arianne kehilangan orangtuanya, membuatnya tak bisa mengecap kebahagiaan memiliki keluarga besar dan bercengkrama bersama sepupu-sepupunya, dan lebih jauh lagi, Arianne membenci orangtuanya karena tak mau hadir untuknya. Baginya kini, keluarganya hanyalah Maurice, tak ada lagi yang lain. Ia sama sekali tak akan mempedulikan keluarga yang telah membuangnya. Ia membenci para Prancis menyebalkan, angkuh, dan arogan itu.
Arianne tak terlalu terkejut saat mendapati bahwa ia penyihir. Ia tahu bahwa hal ini mungkin terjadi, ayahnya penyihir dan ibunya memiliki darah penyihir. Tapi betapa terperanjatnya ia tatkala Maurice menghampirinya sore itu setelah Arianne mendapatkan surat Hogwartsnya. Memintanya memilih, melanjutkan ke sekolah menengah Muggle, atau menerima undangan dari Hogwarts, dan kemudian pergi ke Prancis untuk bertemu keluarga ayahnya, yang akan menerimanya kembali asalkan ia berkualitas sebagai penyihir.
"Dan kenapa aku tidak bersekolah di... Beubbatongs?" tanya Arianne, raut wajahnya agak mengeras, namun kemudian normal kembali dan suaranya tertekan hingga terdengar seperti biasa. Raut wajahnya kembali ber'topeng', cuek."Beauxbatons. Kau mendapatkan undangan dari Hogwarts, bukan dari Beauxbatons, meski aku curiga itu atas campur tangan kakekmu sehingga mereka tidak mengirimimu su--""Kalau begitu sudah jelas. Mereka tidak menginginkanku!" teriak Arianne keras, seketika, dan ia segera berlari keluar rumah.Memang saat itu ia berperilaku buruk pada Maurice, namun akhirnya ia mengiyakan juga. Arianne tak ingin mengecewakan Maurice yang selalu menjaganya, dan ini salah satu jalan yang diketahuinya bisa membahagiakan Maurice. "Kalau begitu, aku akan berangkat! Aku menepati janjiku, Maurice!" ujarnya agak keras, pada dirinya sendiri.
***
Tekadnya untuk berangkat ke Hogwarts telah bulat, dan suaranya yang meyakinkan itu telah mengikrarkan janji untuk bertahan di sana. Arianne menatap bayangan dirinya sendiri yang terpantul di jendela bangunan itu.
Tiba-tiba, terdengar suara derap langkah kaki, dari suaranya Arianne tahu itu suara manusia. Namun ia mengabaikannya, tetap memandang kekelaman di luar. Ia telah terbiasa memperhatikan semuanya atau sebaliknya, mengabaikan sekitarnya. Tapi setelahnya, Arianne merasakan ada yang memegang pundaknya dan memutar tubuhnya, kemudian...
PLAK! PLAK!"Hei! Sadarlah! Sadarlah! HEI SETAN! JANGAN GANGGU DIA! CEPAT KELUAR DARI TUBUHNYA!" Vinzzz berteriak dengan tegas tapi tidak terlalu kencang agar tidak mengganggu yang lain.Arianne terhenyak beberapa saat ketika tubuhnya diputar oleh seorang anak laki-laki yang dikenalinya sebagai anak yang bekerja di penginapan itu. Dan baru tersadar ketika pipinya ditampar keras. Kedua pipinya. Ia sangat terkejut sehingga tak bisa bereaksi segera setelah ditampar. Yang bisa dilakukannya hanyalah mengerjapkan mata dua kali sambil memandang bingung pada si anak laki-laki.
BRUSTT!Vinzzz menyemprotkan air yang tadi diminumnya ke muka anak itu. Berharap ia cepat sadar dari kesurupan itu. Vinzzz menaruh gelas itu di lantai kemudian berkata dengan khawatir."Kau tidak apa-apa?"Air dingin menerpa wajahnya, membuatnya langsung tersadar. "Aaaaaaaaaaaaaaaaargghh, apa yang kau lakukaaaan?!" Arianne berteriak keras sambil memukul keras puncak kepala anak-laki-laki yang menyemprot wajahnya dengan tangannya yang terkepal. Semoga sakit. Arianne langsung menarik tangannya dan menyentuh pipinya yang memerah akibat ditampar, juga basah. Air apa sih yang dia gunakan?
Arianne mengingat-ngingat apa yang diucapkan dengan tidak jelas oleh anak laki-laki itu, Setan? Apa maksudnya? "Kau yang setan!" sergah Arianne sambil menatap kesal si anak-laki-laki itu, masih memegang pipinya yang sakit.
***
Pipi Arianne benar-benar terasa sakit. Ia bahkan bisa merasakan panasnya, tahu bahwa pasti telah ada bekas merah membentuk telapak tangan di situ. Ada apa sih dengan anak itu? Kenapa berteriak-teriak seperti orang gila? batin Arianne sambil masih memandangi anak laki-laki itu dengan kesal. Kalau saja ia tidak tahu anak laki-laki ini bekerja di sini, mungkin Arianne sudah menendangnya hingga terjengkang atau pingsan.
"TOLONG! TOLONG! ADA ORANG YANG MAU DIBUNUH! ADA MANIAK YANG MAU MEMBUNUH!"Arianne menoleh, seorang anak laki-laki lain yang berambut agak jigrak muncul di tangga dan tiba-tiba berteriak soal pembunuhan. Arianne membeku sesaat.
Pembunuh?! Jangan-jangan, anak laki-laki ini yang maniak pembunuh? Arianne benar-benar tak bisa bergerak, ketakutan menjalari tubuhnya. Dan sepertinya anak laki-laki berambut agak jigrak benar. Anak-laki-laki tukang tampar ini tertawa mengerikan, kemudian berteriak.
"APA? APA? SIAPA PEMBUNUH?" Vinzzz menghampirinya kemudian memegang pundaknya dan menggoyangkannya. Vinzzz dengan cepat mengambil tongkat sihir dan mengeluarkan mantra,"PETRIFICUS TOTALUS!" Seketika anak itu diam dan tidak berteriak-teriak lagi. Vinzzz memperhatikan gadis yang tadi kesurupan itu masih diam. "ALOHOMORA!" Pintu itu terbuka. Vinzzz mengangkat karung berisi anak itu kemudian memasukan anak itu kedalam dan menutup pintu itu kembali.Rangkaian kejadian itu berlangsung sangat cepat. Arianne hanya bisa menyaksikannya dnegan mulut menganga dan tangan memegang pipinya yang merah bekas ditampar. Bayangan mengerikan mulai muncul di kepalanya. Kengerikan melintas di hatinya, meratap. Apakah malam ini adalah malam terakhir hidupnya? Ya ampun, jangan! Arianne baru saja ingin pergi ke Hogwarts, untuk masa depannya dan juhga untuk menyenangkan Maurice. Ia tidak mau mati sekarang, apalagi di tangan maniak begini. Jangan.. Jangan...J
angan, jangan, aku tidak mau mati... Tolong aku, Maurice... Pikirannya akhirnya terbawa pada racauan dalam hatinya, memohon bantuan entah pada siapa. Tapi sepertinya ratapannya -atau mungkin doanya- tidak terkabul.
Si anak laki-laki menepuk kedua tangannya dan mendekati Arianne lagi sambil bertanya apakah Arianne sudah sadar atau belum. Tangannya sudah siap di udara. Arianne tak ragu lagi dengan niatnya. Anak itu pasti berniat menyakiti dan menyiksa Arianne lagi. Arianne memandangnya dengan sorot mata takut kali ini.
"Ada apa sebenarnya?!" dia meminta penjelasan mereka.Terdengar suara seorang anak perempuan kini, membuat Arianne menoleh ke arahnya namun tidak menurunkan tingkat kewaspadaannya dari si anak laki-laki. Arianne tidak mau mati dicekik oleh anak itu. Arianne segera bangkit dari tempat duduknya dan berlari menjauhi anak laki-laki maniak pembunuh itu sekaligus mendekati si anak perempuan.
"Tolong! Tolong, ada maniak pembunuh yang lepas dari St. Mungo!" teriaknya asal sambil bersembunyi di belakang anak perempuan itu, memandang takut pada si anak laki-laki. "Lakukan sesuatu! Sihir dia jadi kodok! Bakar dia! Kutuk dia dengan Kutukan Pencekik Leher! Cekoki dia dengan Ramuan Penenang atau Ramuan Tidur! Cepat lakukan sesuatu, atau kalau tidak dia akan membunuh kita berdua!" racau Arianne sambil mengcengkeram tangan si anak perempuan. Ia menyebutkan semua metode yang terlintas di pikirannya untuk melumpuhkan si maniak pembunuh. Meskipun ia tidak tahu bagaimana caranya melakukan kutukan-kutukan itu, ataupun tentang bentuk nyata Ramuan-ramuan yang disebutkannya tadi. Atau bagaimana rupa St. Mungo. Ia mengetahuinya dari buku-buku yang baru saja dibelinya di Diagon Alley yang semuanya sudah selesai ia baca, dan dari buku-buku milik Maurice.
Maurice, tolong aku... batinnya lagi dengan pilu.
***
Arianne membeku diam di samping anak perempuan berambut hitam itu, mencengkeram tanganya erat sambil tak melepaskan tatapannya dari si anak laki-laki maniak pembunuh. Yang kemudian mendekati Arianne sambil mengeluarkan tatapan aneh dan mengambil kain pel serta membasuhnya dengan air dalam ember. Kemduian si anak laki-laki mendatangi Arianne. membuatnya makin kaku tak bisa bergerak.
Tangan si anak laki-laki semakin mendekat pada Arianne yang memandangnya takut, kemudian menutup matanya -satu-satunya bagian tubuhnya yang bisa bergerak- dan menunggu apa yang terjadi. Anak laki-laki itu... mengelap mukanya? Dia memang sudah gila. Kini Arianne sudah tak ragu lagi. Arianne memicingkan mata saat kain lap itu sudah tak dirasakannya lagi ada di wajahnya. Apa yang direncanakan anak laki-laki itu? Mencekik Arianne dengan kain pel itu?
Dan tiba-tiba... kain pel itu sudah melayang dilempar oleh anak laki-laki maniak pembunuh itu dan si kain mendarat di muka Arianne. Membuat wajahnya makin basah. Arianne memejamkan matanya lagi saat kain itu mengenai wajahnya sementara debar jantungnya makin kencang. Tangannya segera bergerak mengambil kain lap itu, dan dilihatnya lagi si anak laki-laki, membuka kamar dan mengambil karung berisi anak laki-laki berambut jigrak, kemudian mencekokinya dengan air dalam ember itu.
"Kau tidak apa-apa teman? Lain kali jangan berteriak disini terutama di malam hari. Saya hanya menolong dia yang kesurupan." Vinzzz berkata dengan tegas kepadanya."Dan kau Nona, apa kau sudah sadar sekarang? Aku rasa kamu perlu beristirahat. Atau kau memerlukan yang lainnya?"Maniak! Maniak! Arianne terkejut saat anak itu bertanya padanya apa dia sudah sadar dan memerlukan yang lain. Anak itu mau menyiksanya lagi! Arianne semakin menyembunyikan dirinya di belakang anak perempuan yang ada di depannya. Arianne menggeleng cepat dan melepaskan tangannya dari tangan di anak perempuan, sekarang bersembunyi di belakang punggungnya. Ia merasa matanya panas, dan ia ingin sekali Maurice ada di sini menolongnya.
Dari balik bahu si anak perempuan, Arianne melihat anak laki-laki yang rambutnya agak jigrak agak bergerak, kemudian mendorong si anak laki-laki gila dan buru-buru kabur. Bagus, dia bisa kabur, sekarang bagaimana nasib Arianne, ia sasaran empuk satu-satunya sekarang.
Anak perempuan di depannya menoleh dan bertanya apa Arianne baik-baik saja. Tentu saja tidak, ya ampun, batin Arianne miris, namun ia tetap tak bisa terkata-kata. Si anak perempuan berjalan menjauhi Arianne, membuat Arianne tercekat dan ingin berteriak mencegahnya, namun suaranya tersegel. Anak perempuan itu bisa-bisa dibunuh. Arianne menatapnya panik. Namun rupanya anak perempuan itu yang pegang kendali.
PLAKK!!! PLAKK!!! PLAKK!!! "Kamu. Bisa jelaskan apa yang kamu lakukan?! Tindakanmu itu kejam. Tidak baik melakukan tindakan sekasar itu. Apa lagi kamu adalah pekerja di penginapan bukan? Memangnya atasanmu mengajarkan untuk bersikap seperti itu kepada tamu?""Bisa-bisa semua tamu kabur dengan pelayanan yang seperti ini. Memangnya kamu mau dipaksa meminum air kotor seperti anak laki-laki tadi? Atau dibasuh wajahnya dengan kain pel seperti anak perempuan itu?"Anak perempuan itu menampar keras si anak laki-laki gila. Dan memarahinya dengan tegas. Arianne menyaksikan pemandangan itu dengan terkejut. lega bahwa ada yang bisa mengendalikan anak laki-laki itu. Tak disangka perasaan panas tadi mendesaknya, dan air matanya pun keluar. Awalnya hanya butir-butir bening saja yang mengalir, namun beberapa saat kemudian isakan juga mulai keluar dari mulutnya. Arianne menghapus air matanya yang terus saja berjatuhan dan menekap mulutnya supaya suaranya tidak terdengar oleh si anak laki-laki maniak dan membuatnya sadar bahwa Arianne masih ada di situ, tapi yang terjadi malah isakannya masih keras. Arianne bahkan mulai menyebut-nyebut nama sepupunya, "Hiks ... hiks... Maurice, tolong aku..." Ia takut kalau anak laki-laki itu bisa melepaskan diri dari si anak perempuan.
Aku harus kabur. Aku harus segera pergi, batinnya. Dan itulah yang dilakukannya. Arianne mundur beberapa langkah, dan berbalik kemudian berlari sambil masih terus menangis.
***
Si anak laki-laki aneh yang menampar Arianne tadi mengejar Arianne, dan karena lorong itu kecil, ditambah kenyataan bahwa ia adalah anak laki-laki, maka dengan mudah ia dapat menangkap Arianne. Anak itu menariknya ke lantai atas, menaiki tangga demi tangga hingga sampai ke anak tangga teratas. Arianne hanya bisa pasrah diseret begitu, hanya melempar pandang tak berdaya pada si anak perempuan yang sudah meloloskan anak laki-laki gondrong ini.
Begitu sampai, anak laki-laki itu tiba-tiba bertanya,
"Sebenarnya mengapa kamu berlari Nona?" Arianne tercengang, matanya membelalak meskipun air matanya tetap mengalir. Runtuh sudah semua ketegaran dan topeng yang biasa dikenakannya. Kenapa anak itu masih juga bertanya, setelah semua perlakuan buruk yang dilakukannya pada Arianne? Yang membuatnya lebih tercengang, tiba-tiba anak itu berdiri dan memperagakan gaya aneh sambil berkata,
"SADEWA PERGI KE PASAR!!! Ting Tang Ting Tung Ting Tang Ting Tung Tinga Tang Tung," Setelah berhenti anak itu tersenyum sambil menatap Arianne, membuat Arianne terpaksa balas tersenyum kaku padanya, sebagian karena tingkahnya bergerak tadi, sebagian lagi karena takut senyum yang tadi akan berubah jadi seringai mengerikan yang mengatakan kutampar-kau-lagi-sekarang-juga.
"Biar kupanggil dirimu Sarimin saja ya? Eh...Maksudku Dewi Persik, loh bukan-bukan itu!""Aha! Kupanggil dirimu AMELIA saja ya, bukan Amelia Bones si gadis teman prefek berdada bidang itu yang dengan polosnya mengurangi poin Asrama Hufflepuff. Tapi Amelia saja."Arianne masih bengong mendengar kata-kata si anak laki-laki yang tadi menamparnya itu, apa namanya... Sadewa? Itu sebuah nama? Anak itu mencari-cari nama panggilan untuk Arianne, mengganti-gantinya dengan nama-nama yang aneh, sampai pada akhirnya memutuskan memanggilnya dengan nama Amelia saja. Arianne mengangguk bego dan membiarkan saja anak laki-laki itu memanggilnya begitu. Selanjutnya anak itu malah menyanyi sambil bergaya. Dua kali pula.
"Jadi? Sekarang kamu mau cerita mulai dari yang kau lakukan di jendela, berlari saat diriku ditampar dan juga Maurice. Ya?" Vinzzz mengangkat alisnya.Arianne ingin sekali tertawa tergelak kalau saja tidak sedang terperangkap situasi seperti ini. Gayanya saat menyanyi itu konyol dan menggelikan sekali. Namun sayangnya kondisinya sedang tidak memungkinkan. Arianne menggeleng cepat ketika anak itu memintanya bercerita, dan buku-buru lari menuruni tangga sebelum ditangkap lagi oleh anak itu. Ditemukannya pintu kamarnya, dan buru-buru dimasukinya kamar itu. Dibantingnya pintu kamar itu dan dikuncinya segera dari dalam.