Arianne tak pernah menyukai mobil. Tak pernah, meski dalam bentuk yang berbeda. Namun untuk kepentingannya ke Hogwarts, sekali lagi ia bersedia mengalah. Dengan pasrah menaiki kendaraan gila bernama Bus Ksatria, menuju King's Cross.
Meskipun cara jalannya sangat mengerikan -berjalan tak tentu kecepatannya dan meledak-ledak setiap kali akan berhenti atau jalan- namun Arianne mengakui bahwa cara bepergian ini cepat dan efektif. Ia hanya perlu membayar empat belas sickle, menutup mata dan berpegangan erat sepanjang perjalanan, dan dalam waktu beberapa belas menit, ia sudah bisa menurunkan kopernya dari bus terkutuk itu.
Stasiun benar-benar penuh. Troli yang dibawa Arianne berkali-kali menyenggol orang-orang yang berselisih jalan dengannya, namun tidak ada insiden berbuntut panjang karena hal itu, orang-orang terlalu sibuk sehingga saling bertukar gumaman maaf sudah cukup bagi mereka untuk saling memaafkan dan melupakan kesalahan. Lima belas menit sebelum pukul sebelas siang, Arianne sudah sampai di depan palang rintang antara peron sembilan dan sepuluh, rambutnya yang tergerai dan hanya ditutupi topi agak berantakan karena tertiup angin, helai-helai rambutnya juga menempel pada dahinya atau pipinya karena peluh.
Maurice -seperti biasa- memberi instruksi berulang-ulang tentang apa yang harus dilakukan Arianne, membuatnya jengkel. Meski Arianne tahu bahwa Maurice hanya memperhatikannya, namun menurutnya Maurice terlalu berlebihan. Arianne tidak bodoh sampai-sampai harus diberitahu berulang -tiga puluh- kali begitu. Ia bahkan sudah berniat membuang semua bukunya ke tempat sampah, karena setelah membaca sekali Arianne telah mengerti semua isinya. Mengerti, bukan hapal. Tapi Maurice yang sepertinya sudah mengerti dengan watak Arianne mengiriminya surat semalam, melarang keras Arianne untuk membuang buku-bukunya karena Arianne akan memerlukannya. Arianne mengeluh pelan. Kopernya tambah berat.
Yang harus dilakukannya sebenarnya mudah. Dan dilakukan Arianne dengan sukses. Arianne berjalan santai mendorong trolinya menuju ke tembok kokoh itu, sambil memejamkan matanya, dan ia sama sekali tak merasakan dirinya membentur suatu penghalang, hanya perubahan atmosfer sedikit, dan kegelapan pekat yang menyelubunginya, membawanya...
... ke Peron sembilan tiga perempat yang sudah ada di hadapannya saat Arianne membuka mata, merasakan kehangatan dan kegelapan yang tersingkap darinya. Terlihat oleh matanya sebuah kereta besar, kereta yang akan membawanya ke Hogwarts, yang disebut Hogwarts Express.
Kereta uap merah tua itu telah penuh sesak, dijejali, masuk dan keluar para penumpang dari dan ke dalamnya. Kebanyakan didominasi oleh anak-anak berumur antara sebelas hingga delapan belas tahun. Sebagian besar dari mereka nampaknya diantar oleh orangtua atau kerabat mereka. Arianne berjalan melewati mereka tanpa melirik sedikitpun, tanpa perubahan ekspresi yang berarti dari dirinya yang biasa, cukup ramah, namun tanpa senyum. Ia berjalan tetap dinamis dan luwes bersama trolinya menuju salah satu pintu kereta.
Arianne mencoba mengangkat kopernya ke atas kereta saat ia telah sampai di ambang pintu salah satunya. Tidak bisa, terlalu berat. Dalam hati ia merutuk, menyesali kenapa ia mematuhi nasihat Maurice. Seharusnya ia membuang saja buku-buku pelajaran yang tidak diperlukannya itu. Tapi sekarang sudah terlambat, ia tak bisa membuang buku-buku itu di sini, orang-orang akan memandangnya aneh. Lagipula kasihan Maurice yang sudah mempergunakan uangnya untuk membeli buku-buku Arianne. Arianne tahu bahwa itu uangnya sendiri, benar-benar uang Maurice, karena Arianne mengambilnya dari lemari besi Maurice. Bukan berarti orangtua Arianne tidak meninggalkan uang bagi Arianne, mereka punya lemari besi sendiri yang diwariskan padanya, namun... karena suatu hal, Arianne tidak ingin memakainya. Maurice sendiri bersikeras agar Arianne menjadi tanggung jawabnya sehingga itu berarti Arianne dibiayai olehnya. Dan Maurice sudah jelas bekerja keras untuk bisa memenuhi kebutuhannya dan Arianne setelah orangtua Arianne meninggal, sampai-sampai ia tak bisa mengantar Arianne untuk ke Diagon Alley dan ke King's Cross. Tetapi Arianne maklum, dan ia memang bisa melakukan ini sendiri, tak masalah.
Tak ada jalan lain lagi. Arianne memutar sedikit otaknya, dan menemukan jalan keluar. Ia menjejakkan kaki ke atas kereta, membiarkan kopernya berdiri di bawah. Setalah mampu berdiri tegak di atas, Arianne melingkarkan satu tangannya ke pegangan yang ada di pintu kereta, sementara tubuhnya dibungkukkan agar tangannya yang satunya bisa menggapai kopernya. Dapat! Arianne menariknya sekuat tenaga, dan... untungnya kopernya berhasil dinaikkannya ke kereta. Rupanya kebiasaannya lari pagi dan setiap hari bermain-apapun-dengan-teman-temannya membawa dampak yang positif.
Arianne berjalan menyusuri koridor kereta sambil menarik kopernya yang beroda. Ia mengintip setiap kompartemen yang dilaluinya, rata-rata sudah terisi beberapa orang. Hingga akhirnya Arianne menggeser pintunya dan masuk, mendudukkan dirinya di kursi dekat jendela dan membiarkan kopernya di dekat kakinya. Ia tak bisa menaikkan koper berat itu, mau bagaimana lagi? Lebih baik tetap disimpan di bawah, kan. Arianne menyibakkan rambut panjangnya ke belakang, membuka topinya, dan mengusap peluh yang sedikit mengucur di dahinya. Ia merapikan rambutnya sedikit, memakai kembali topinya dan sambil bertopang dagu pada sandaran tangan, ia menatap keluar kompartemen melihat keramaian di luar kereta.