Bulan cemerlang malam ini.
Putih, bundar hampir sempurna dan tak tampak cacat oleh kawah-kawahnya karena ia bersinar kemilau mengalahkan bintang-bintang yang bertaburan di sekitarnya. Dari sudut pandang seorang gadis kecil yang duduk sendirian bertopang dagu di salah satu tempat tertinggi di Hogwarts itu. Hanya untuk memandang si bundar cemerlang.
Waktu menunjukkan pukul sebelas malam tatkala Arianne terbangun di ranjangnya, sejam yang lalu. Tanpa simbahan keringat, tanpa engahan napas, tanpa pelebaran pupil di mata cokelatnya, dan tanpa bayangan mengerikan berkelebat di benaknya. Dan nyaris tanpa berpikir maupun berkehendak, tubuhnya telah bergerak otomatis. Bangkit dari tempat tidur, merapikan gaun tidurnya, memakai mantel panjangnya dan kaus kakinya sebelum menyusupkannya pada sandal, dan menyambar boneka kelincinya ke dalam dekapannya. Rambut panjangnya dibiarkannya tersembunyi dalam mantelnya, melindungi tengkuknya dari udara dingin. Dan sekali lagi, Arianne menelusuri koridor-koridor kosong, tanpa bantuan cahaya tongkat kini, hanya dipandu sinar lembut rembulan yang menyusup melalui jendela-jendela berangin. Dan sampailah ia di menara ini lagi.
Entahlah, menara ini seakan memanggilnya kembali. Atau memori yang memanggilnya. Setelah mengikuti Cassandra ke tempat ini, dan bercerita untuknya, memori mengenai cerita Maurice padanya memenuhi benaknya. Sebuah cerita tentang gadis kecil manusia serigala yang kesepian. Sebuah cerita tentang Sang Bulan yang bercerita pada si gadis kecil agar ia tak merasa kesepian, cerita tentang kejadian-kejadian yang ia lihat tatkala ia mengitari bumi. Sebuah cerita berbingkai berjudul When The Moon Saw.
Arianne begitu larut dalam kisah-kisah itu, yang membuatnya melupakan semua masalahnya untuk sejenak, seperti Wita, si gadis kecil manusia serigala yang selalu dikunjungi Sang Bulan tiap malam purnama. Setiap detilnya terekam jelas dalam sel-sel otaknya. Jubah Kelabu Myristica, Jane dan Joshua si keabadian terkutuk, Witania dan Owen, Whitemoon dan Yellowmoon, Alas Roban, Katrina dan Patrick... Semua ia hapal dalam benaknya, dan dalam hatinya...
Arianne mendesah panjang, menyamankan duduknya, dan mempererat dekapannya pada si boneka kelinci, sementara matanya kembali memandang ke atas. Ia mengerti salah satu alasan kenapa ia kembali ke tempat ini. Menara ini tempat yang sempurna untuk melihat bulan di atas sana. Bulan bulat yang ia harap mau bercerita padanya juga tentang apa saja yang ia lihat di berbagai tempat, seperti ia mau bercerita pada Wita. Arianne mendesah panjang lagi, dan menatap bulan lagi.
Bulan cemerlang malam ini, dan sinarnya memantul pada bola mata cokelat seorang gadis kecil yang terus memperhatikannya.
***
"Bonjour. Apa yang kau lakukan di sini malam-malam begini?"Sebuah suara halus yang cukup untuk membuat Arianne memutar kepalanya, dan menemukan Blanche sudah berdiri di sana sambil tersenyum padanya. Arianne menahan diri untuk tidak mengangkat alis, dan hanya bisa melempar sorot mata bukan-urusanmu tanpa sempat mengucapkan apa-apa, karena Blanche telah mendahuluinya, meletakkan sepotong sandwich di tangannya yang terletak di pangkuannya -tangan yang lain memeluk boneka kelincinya- dan menambahkan,
"Kalau kau lapar." Tepat saat itu terdengar bunyi kriuk dari suatu tempat di dekat situ. Arianne memiringkan tubuhnya sedikit untuk melihat ke asal suara.
Seorang anak perempuan berambut hitam pendek seumurannya berdiri dekat ambang pintu. Arianne tidak tahu siapa namanya, karena ia memang tidak -berminat- berkenalan dengan anak-anak perempuan. Kalaupun ia tahu, itu hanya dari obrolan orang lain saja. Ia hanya kenal dengan Talented, dan Cassandra yang tempat tidurnya bersebelahan. Arianne juga beberapa kali tidak mengikuti kelas karena ia harus 'mengunjungi' rumah sakit. Ia bahkan melewatkan dua kali pelajaran terbangnya dan latihan Quidditch bersama. Bodoh.
"Kau mau?" tanya Arianne, suaranya terdengar berdenting karena keheningan malam itu, gelombangnya menggetarkan partikel udara di sekitarnya, hingga sampai ke tempat si anak perempuan. Arianne melihat sekilas lagi pada Blanche, kemudian memalingkan wajahnya, menatap keluar lagi, ke arah Sang Bulan. "Jangan dekat-dekat denganku kurang dari dua meter," ia seakan berbicara dengan angin, meski tentu saja kalimat itu ditujukan pada Blanche. Sunyi sejenak. "Aku tidak mau berurusan dan bertengkar denganmu dan membuat Yusuke benci padaku."
Tengah malam. Namun langit makin cemerlang dengan para benda langit melawan kekelamannya. Arianne meletakkan dagunya di puncak kepala si boneka kelinci, dan bergumam tanpa komando dari otaknya, "Bulan cemerlang malam ini."
***
Angkuh, pemilih, berpikiran sempit. Pandangan Arianne mengenai orang Prancis, yang diyakininya benar, karena ia telah mengalaminya sendiri. Contoh kasus terpapar di hadapannya selama hidupnya, jadi pandangannya sudah mendarah daging. Mungkin orang Prancis yang tidak seperti itu hanya Maurice, yang bahkan Arianne ragukan, karena orangtuanya tinggal di Jerman. Tapi pandangannya mengenai orang Prancis secara umum sudah tak bisa diubah lagi. Ayahnya, ibunya, anggota keluarga ayahnya, sudah memberikan gambaran cukup jelas seperti apa orang Prancis sebenarnya. Angkuh sehingga tak bisa melihat ikatan keluarga yang terjalin antara mereka. Pemilih sehingga membuang yang 'tidak berkualitas seperti mereka', bahkan mereka yang seharusnya disayangi. Berpikiran sempit, sehingga hanya mau menganggap keluarga pada yang segolongan dengan mereka, hanya bisa melihat dari satu sisi.
Setelah sedikit insiden pengeroyokan di halaman oleh gadis-gadis menyebalkan itu, dan percekcokan dengan Blanche, serta teguran dari Yusuke, yang meskipun dikatakan dengan sangat halus, namun kini Arianne menjaga jarak dengan semua orang Prancis, yang hanya bisa menimbulkan masalah baginya. Terutama dengan Blanche, yang merupakan teman Yusuke, sehingga salah-salah Arianne bisa disalahpahami lagi oleh Yusuke. Ia tidak mau Yusuke marah padanya, dan ia sendiri heran, kenapa Yusuke bisa berteman dengan tukang-obral-senyum macam Blanche. Tapi akhirnya, ia melaksanakan apa yang dirasakannya benar. Di koridor, di Aula, di tangga, di mana-mana, Arianne berusaha tidak berpapasan ataupun mendekatinya. Ia tidak mau bertengkar dan mengucapkan kata-kata sinis lagi pada anak keras kepala itu.
Tapi nyatanya usahanya jadi sia-sia sekarang. Entah Blanche menguntitnya, atau takdir mempermainkannya, malam ini, di saat seharusnya tidak ada orang yang berkeliaran karena takut dengan detensi dan hantu dan semacamnya, ia malah bertemu Blanche, dan seorang anak perempuan berambut pendek. Yang diharapkannya hanyalah bahwa mereka tidak akan bertengkar, dan si anak perempuan tidak akan melaporkan hal yang aneh-aneh pada anak-anak lain. Kalau ada guru atau malah Mr. Filch yang dengar kalau mereka berkeliaran, bisa gawat. Detensi dan pengurangan poin sudah jelas menunggu mereka. Ditambah pertengkaran, maka sepertinya hukuman akan jadi dua kali lipat. Tapi anak Prancis itu memicunya.
“Begitukah? Aku yakin Yusuke bahkan tidak peduli apapun yang kau lakukan, Madamoiselle,”Raut muka Arianne mengeras sesaat, kemudian dengan cepat tersembunyi dalam tenangnya, ketika ia memandang langit berbintang yang tak membosankan. Kalau saja ia tak ingat situasi, ia akan segera mendebatnya, atau kalau perlu membentak-bentaknya dan memukulnya karena sudah jadi anak sok tahu. Tapi tidak, ia menahan diri. Provokasi macam itu tidak boleh membuatnya hilang kendali, lagipula ia yakin bahwa Yusuke akan peduli. Arianne tahu itu.
Blanche tidak mempedulikan kata-kata Arianne, dan dengan seenaknya duduk di lantai di dekat situ. Meskipun tidak melihat langsung, Arianne bisa merasakannya dari desau angin yang terusik di sekitarnya. Tak tahukah ia bahwa lantai itu sangat dingin di musim begini? Atau ia memang bodoh? Blanche menyuruh si anak rambut pendek untuk duduk, yang dipertegas Arianne dengan berkata, "Yeah, duduklah, dan makan. Padahal di Aula Besar tadi banyak makanan." Tidak. Bukan berarti Arianne mengubah pandangannya soal Blanche, ia hanya ikut menyuruh anak yang dari tadi berdiri seperti patung itu untuk duduk. Tapi Arianne segera melupakan Blanche dan anak itu dan kembali memperhatikan bulan, membuatnya terlena bergumam yang tidak-tidak. Blanche menimpalinya.
Arianne mengernyit, ia tidak mengerti apa yang dikatakan Blanche. Mungkin keputusannya yang tidak mau mempelajari bahasa Prancis dan bahasa asing lainnya salah. Ia hanya mengerti satu kata yang diucapkan Blanche, oui berarti ya. Blanche sependapat dengannya bahwa bulan cemerlang malam ini. Tapi sisanya, apa artinya? Arianne melirik Blanche di ekor matanya, berusaha menemukan jawaban, namun nihil.
"Bego, keras kepala," gumamnya tajam, tak mau menoleh menatap lawan bicaranya, sebenarnya kesal karena anak itu tak mendengarnya dan malah duduk di dekat Arianne, tapi ia malah melanjutkan, "lantai itu dingin, tahu. Buat apa kau duduk di situ? Mau masuk rumah sakit supaya bisa bolos pelajaran? Percuma, Madam Pomfrey bisa menyembuhkanmu dalam waktu sekejap."
Mungkin Arianne yang bego, malah membuka pembicaraan, dan dengan kata-kata pedas. Ah, tapi anak laki-laki biasanya cuek dengan hal itu. Kalaupun Blanche marah, itu bagus. Mungkin dengan begitu ia akan segera pergi dari sini. Sementara itu, Sang Bulan masih bersinar di langit kelam. Arianne memandangnya hampa.
Apa kau akan menceritakan kisahku juga pada Wita? bisiknya lirih.
***
Anak aneh. Ia datang, tinggal tak lebih dari satu menit, bergumam tak jelas, lalu pergi. Seperti angin saja. Dan sandwich yang Arianne tawarkan tidak diambilnya.
Bodoh, tidak mengambil kesempatan saat ditawarkan, batinnya cuek. Hahh... Peduli amat. Mungkin anak itu pergi untuk mengendap-endap di dapur. Arianne memegang sandwichnya di tangan kanannya sementara tangan kirinya memeluk si boneka kelinci sambil tetap memandang bulan dalam diam. Sampai didengarnya suara itu.
Anak Prancis bego itu memainkan harmonikanya. Di menara astronomi ini. Di tengah malam. Di kesunyian yang bisa mengeraskan suara jarum jatuh sampai seratus kali lipatnya.
Arianne tak tahu lagi, siapa yang lebih bodoh, Blanche yang bermain harmonika, atau dia yang pergi ke menara astronomi tengah malam begini?
Tangannya segera melepas boneka kelincinya, yang jatuh ke pangkuannya, ia memutar dan mencondongkan tubuhnya ke arah Blanche sementara ia tetap duduk dan menjadikan ujung kakinya sebagai tumpuan. Arianne merebut harmonika dari tangan Blanche dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya menggunakan sandwich menutup mulut anak itu yang baru saja mengatakan ia tidak perlu dikhawatirkan.
"Dasar bodoh!" desisnya marah, "Apa yang kaupikirkan, hah? Main harmonika tengah malam begini! Kalau... Kalau ada yang terbangun..." matanya melebar sesaat, sebelum menyadari bahwa ia telah bicara terlalu jauh. Pikirannya terbawa pada cerita Sadewa yang didengarnya saat pertemuan tengah malam pertamanya. Tentang Elizabeth Bathory. "Kalau ada yang terbangun, bisa gawat!" katanya setelah mendapatkan suaranya kembali.
Kata-kata terakhir Blanche teringat oleh Arianne. "Aku tidak mengkhawatirkanmu," sergahnya sewot, melepaskan tangannya dari sandwich dan tetap memegang harmonika yang direbutnya. Tentu saja tidak, ia tadi kan hanya menyuarakan sindiran atas tindakan bodoh Blanche yang duduk di lantai. "Kalau Mr.Filch mendengarnya, dan ke sini, kita berdua bisa didetensi. Jadi kalau mau tetap hidup, diam dan makan sajalah," lanjutnya sambil memandang galak Blanche.
***
Denting tawa berirama menyambut protes marah yang disuarakan Arianne. Arianne menampakkan wajah tenang namun terganggu melihat respon anak laki-laki itu. Tawanya akhirnya mereda, disusul jawabannya,
"Well, aku tadi tidak memikirkan apa-apa." Hening sejenak.
"Memikirkanmu mungkin," lanjutnya sambil kembali tertawa kecil,
"Tenang saja tidak akan ada yang bangun karena kita agak jauh dari menara asrama.""Ha! Itulah perbedaan kau dan aku!" serunya sambil menuding Blanche dengan telunjuknya. Yeah, perbedaan seorang Gryffindor yang tak pernah berpikir panjang dan Ravenclaw yang menggunakan nalarnya untuk memperhitungkan dan menilai keadaan sekitarnya. "Gunakan otakmu. Yang ada di kastil ini bukan cuma manusia, ada hantu-hantu, lukisan-lukisan, kucing si Tua Filch, dan Mr. Filch sendiri yang tampaknya bisa muncul dua detik setelah kucingnya memanggil. Kalau salah satu dari mereka terbangun, maka bersiaplah untuk yang terburuk."
Arianne memutar tubuhnya ke arah luar lagi, bersidekap memeluk bonekanya, harmonika tergenggam di salah satu tangannya. Ia baru sadar, bodoh sekali dia membawa bonekanya ke luar begini. Tapi boneka ini pemberian Maurice kala di masa-masa awal kehidupannya setelah kecelakaan naas itu ia tak bisa tidur. Dan hingga kini boneka itu menemaninya. Arianne memeluk boneka itu lebih erat, menghangatkan jari-jarinya yang kebas. Dibenamkannya wajahnya ke balik kepala si boneka, hanya matanya yang tampak di antara kedua telinga panjang si kelinci. Ia dapat merasakan kalau mulutnya mengeluarkan uap putih tipis jika ia bernapas. Sepertinya besok ia harus mengunjungi Madam Pomfrey lagi. Musim dingin memang menyebalkan.
Kamu... benci orang Perancis?"Pertanyaan itu menghantam Arianne yang tengah sibuk memikirkan hal lain. Rekor, ia tidak memandang bulan lima menit penuh. "Ya," jawabnya dingin. Ia terdiam sejenak, kemudian melanjutkan dengan nada sama tenangnya, "karenanya kau sangat bodoh. Sudah kubilang, jangan dekati aku kurang dari dua meter. Aku tak bisa menjamin aku tak kan melemparmu dari menara ini."