Saturday, April 26, 2008
12:38 PM
When Green Becomes Brown
Arianne duduk bersila di depan sebuah pohon besar. Punggungnya tidak bersandar pada batang pohon itu, melainkan agak membungkuk ke depan. Jubah hitamnya telah dilepas, hanya menyisakan kemeja putih dan rok abu-abu yang merupakan seragam sekolahnya disamping jubah. Dasi biru terangnya agak dilonggarkan karena ia agak kepanasan, namun tetap cukup rapi. Si jubah sendiri telah terlipat rapi di atas tas sekolahnya, yang tergeletak tak jauh darinya. Rambut panjangnya yang jarang diikat, terurai lemas ke belakang, beberapa helaiannya melewati bahunya dan menjurai ke depan, karena ia membungkuk. Arianne tengah mengawasi beberapa benda yang tergeletak di hadapannya.
Sebuah gantungan kunci berbentuk bola kecil. Berwarna putih dan berjahit benang-benang merah di antaranya. Sebuah foto hitam putih yang tidak bergerak, berisikan sosok tiga anak bertopi sama, dua laki-laki dan satu perempuan, ketiganya nyengir bangga sambil mengacungkan dua jari mereka -tengah dan telunjuk- ke depan. Sebuah bando kain berwarna pink muda, masih dalam plastik yang membungkusnya.
Ketiga benda itu mempunyai arti bagi Arianne. Ketiganya adalah benda berharganya, yang diberikan teman-temannya tatkala ia akan pindah ke Hogwarts. Sorot mata mereka menyiratkan kesedihan bagai Arianne akan pergi jauh, meski bibir mereka membentuk senyum. Padahal yang bersangkutan merasa bahwa sepuluh bulan takkan lama, toh mereka akan berjumpa lagi. Dipandangnya lagi ketiga benda itu. Sebelum akhirnya Arianne menyenderkan tubuhnya ke belakang, ke batang pohon itu, sambil mengubah posisi kakinya menjadi berselonjor. Ia teringat teman-temannya, yang sekarang entah di mana. Ah, mereka ada di pelupuk matanya, yang sekarang terkatup, ingin terus melihat bayangan mereka.
Awal musim gugur. Saat di mana udara mendingin. Dari yang awalnya panas, menjadi hangat. Kemudian dingin dan beku saat memasuki musim dingin. Awal musim gugur. Kala di mana hari mulai memendek waktu siangnya, karena matahari berotasi dan berevolusi sesuai takdirnya. Awal musim gugur. Ketika hijau berubah menjadi cokelat kering. Ketika Arianne merindukan teman-temannya yang akan mengajaknya bermain dan melompat-lompat di tumpukan daun-daun cokelat kering itu.
***
Pukulan baseball pertamanya yang berhasil melewati pagar lapangan di utara dan dengan sukses memecahkan jendela toko roti. Topi pertamanya yang diberikan oleh Will. Spageti pertamanya yang dibilang enak oleh Mark. Permainan basket pertama mereka dimana Arianne berhasil mencetak angka, meski harus dibayar dengan kakinya yang keseleo. Semua itu bertumpuk di pelupuk matanya, mengalir deras memenuhi ingatannya. Membuat senyumnya mungkin akan terkembang, andai saja ia memang mengalaminya lagi. Namun tidak, Arianne tidak tersenyum, karena ia tahu bahwa ini hanya ingatan belaka. Meskipun ia senang bisa mengenangnya lagi.
"Tumben kau sendiri disini ?Kukira kau sedang dikandang burung hantu. Mengadu pada orang tuamu atau kakekmu ?"Sebuah suara sinis, anak perempuan, membuat Arianne membuka matanya. Kekesalan menjalarinya, si anak perempuan telah mengganggu waktunya yang berharga. Meskipun tidak jelas juga Arianne sedang melakukan apa. Tapi jelas saja, ia tidak suka diganggu, apalagi oleh anak perempuan rese tukang dandan yang bisanya cuma main rumah-rumahan dan boneka-bonekaan. Saat Arianne melongokkan kepalanya untuk melihat siapa yang mengganggunya, ia mengenali wajah si pemilik suara sinis menyebalkan. Anak perempuan yang pernah ditemuinya di tepi danau. Sky Chastain.
Anak bodoh. Dia telah melempar topik yang salah pada Arianne. Pembicaraan mengenai keluarga akan membuat Arianne naik darah, dan menyinggung soal kakeknya akan mengintimidasi Arianne untuk menamparnya, kalau ia telah sangat marah. Arianne duduk tegak dari sandarannya pada pohon, dan memasukkan barang-barangnya dan jubahnya ke dalam tasnya, kemudian menggeser duduknya agar berhadapan dengan Chastain. Dipandangnya anak itu dengan pandangan menilai, apakah pantas untuk dilayani atau tidak.
"Kau tidak tahu slogan sekolah ini ya? Draco Dormiens Nunquam Titilandus. Dalam kasusmu, berarti
Jangan Usik Urusan Orang Lain, " balas Arianne tak kalah sinis, kedua tangannya disilangkan di depan dadanya dengan angkuh. Yeah, dalam hal mencampuri urusan orang, Arianne bisa dibilang seperti ular. Usik, dan kau akan dipatuk. Campuri urusan Arianne, dan kau akan merasakan akibatnya. Arianne tak lemah, meskipun Mark dan Will sering melindunginya.
***
Kedua tangan Arianne tersilang, ekspresinya menantang Chastain yang sepertinya berniat mencari masalah dengannya. Tatapannya sinis, merendahkan sosok anak perempuan Gryffindor yang nampaknya benar-benar tidak punya pekerjaan lain sehingga mengusik Arianne. Seulas seringai nampak di bibirnya, bukan berarti dia senang dengan keberadaan Chastain. Sebaliknya malah. Arianne merasa sangat terganggu, sehingga bisa saja ia lepas kendali, membalas dan mempermalukan si Chastain yang sok tahu itu. Chastain berkata bahwa ia bisa membaca dengan sangat baik sehingga bisa masuk sekolah ini.
Rupanya tak perlu waktu lama. Bahkan Arianne tak perlu turun tangan untuk membalasnya. Sepotong dahan jatuh dari atas pohon, dan menimpa Chastain. Arianne tersenyum sinis melihatnya.
Rasakan! Itu akibatnya kalau kau mencari masalah denganku! batinnya puas. Yeah, Arianne tidak salah apa-apa, sehingga wajar saja bila karma menimpa Chastain. terdengar suara seorang anak perempuan berseru, dan Arianne menengok ke atas. Seorang anak perempuan berambut panjang sedang bertengger di sana layaknya burung, dan meminta maaf dalam bahasa... Prancis? Dan si Chastain juga menjawab dalam bahasa yang sama. Darah Arianne seakan membeku.
Anak yang di hadapannya ternyata orang Prancis, kalau dilihat dari bahasa yang digunakannya. Pantas ia menyebalkan. Yang menyakitkan Arianne, anak perempuan yang menolongnya. Prancis. Kenapa keadilan bagi Arianne dibawa oleh anak perempuan itu? Dan mau apa dia memanjat pohon? Orang Prancis seharusnya tidak bertingkah seperti itu.
"Hai! kau anak yang sama-sama disiksa oleh si maniak pembunuh itu di Leaky Cauldron kan? Senang melihat kalau kau ternyata selamat dari kejarannya." Tampaknya anak perempuan itu sedang bersitegang dengan anak perempuan lain di sana. Suara orang lain yang sepertinya dikenal Arianne. Seorang anak laki-laki beremblem Ravenclaw. Arianne spontan memberinya senyum, antara senyum senang dan kasihan. Senang karena ternyata anak itu belum terbunuh, dan kasihan karena dia senasib dengan Arianne. Pernah akan dibunuh oleh si pasien lepasan St. Mungo. "Hai, Merovingian. Yeah, aku selamat," jawabnya singkat, masih dengan lipatan-tangan-di-depan-dada. Arianne tahu namanya tentu saja. Topi Seleksi menyebutkannya saat malam pertama mereka di Hogwarts. Chastain berkata lagi soal 'satu-satu'. "Kalau kau memang bisa membaca slogan itu, seharusnya kau tidak mengusik orang lain. Kalau kau masih melakukannya, berarti otakmu sudah berkarat saking lamanya tidak kau gunakan," balasnya masih dengan suara yang tenang. Arianne tidak akan terpancing dengan taktik orang Prancis.
***
Arianne memandangi Chastain sinis, memperhatikan dengan cermat agar tidak kalah dan terpancing. Anak di atas pohon membalas dengan sewot kata-kata Prancis Chastain. Dengan bahasa Inggris kini. Tiba-tiba terdengar suara teriakan memanggil seseorang bernama 'Sarbini'. Arianne menoleh, dan mendapati sesuatu melompat-lompat berwarna hijau, ke arahnya.
Kodok? batinnya bingung. Dengan sigap Arianne mengulurkan tangan menangkap makhluk apapun yang menghampirinya itu. Malukhluk itu ternyata berbulu, dan melihat bentuknya, Arianne dapat mengira-ngira, bahwa itu adalah Puffskein. Seperti yang tertera jelas dalam buku yang pernah dibacanya.
Terdengar lagi suara lain. Suara sepertu bunyi kerikil yang dilemparkan ke papan kayu. Pletak! Pletak! Arianne menoleh lagi ke asal suara, yang ternyata... Chastain, entah bagaimana bisa terlempari beberapa benda. Entah apa saja. Arianne memperhatikannya dengan heran, kemudian perasaan ingin tertawa keras melandanya. Arianne menahannya, dan sebagai gantinya -karena ia tak bisa menahan tawanya yang mendesak ingin sekali disuarakan- ia menyeringai lebar, memandang dengan penuh kepuasan. "Balasan untuk kebodohanmu mencari masalah denganku rupanya telah ada, hmmphh..." Arianne mengulum senyum, masih menahan tawanya.
Pandangannya dialihkan pada asal lemparan, atas pohon, dan mendapati bahwa si gadis Prancis- oh, bukan, ada gadis lain lagi, dengan emblem yang sama dengan Arianne, berarti mereka seasrama, dan kemungkinan yang ini kakak kelasnya, karena Arianne tidak pernah melihatnya di kelas. Entah kapan ia datang, namun ia telah siaga dengan ketapel di tangannya. Si gadis Prancis juga nyengir jahil. Jelas sudah bahwa mereka berdua berpartisipasi dalam hal pelemparan Chastain. Arianne mendongakkan kepalanya, dan tak bisa ditahannya ketika akhirnya ia berucap, "Thanks," sambil menyelipkan seulas senyum di bibirnya.
***
"Maaf, bisa kembalikan Puffskeinku yang ada di tanganmu, Miss?"Arianne mengalihkan matanya dari kedua gadis yang bertengger di atas pohon, ke arah suara di dekatnya. Rupanya si gadis pemilik makhluk berbulu hijau yang ditangkap Arianne, entah bagaimana, telah berada di dekat Arianne. Arianne mengulurkan kedua tangannya, dan melempar si Puffskein dengan lembut ke arah si pemilik Puffkein, sambil menambahkan satu kata singkat, "Terserah." Ia tak terlalu peduli puffskein ini milik siapa, dan juga tidak berminat mengambilnya, bahkan jikalau puffskein ini tidak ada pemiliknya.
Perhatian Arianne kembali teralih mendengar seruan lain, suara anak laki-laki kini,
”Mlle, ẽtes-vous bien? Que s’est produit?” Si Anak Prancis. Yang memiliki rambut coklat dan mata biru, anak asrama Gryffindor. Yang sekarang berpakaian bebas, padahal ini hari sekolah. Yang mengambil permen pemberian Yusuke dari kepala Arianne. Yang suka berlaku sok pahlawan. Dan ia melakukannya lagi. Berlaku sok pahlawan di depan Arianne. Bertanya apakah Chastain baik-baik saja.
Kuharap tidak, desis Arianne kejam dalam hati. Salah siapa yang mengusik orang lebih dulu. Arianne memandangi Chastain dengan puas, meski tangannya tak lagi bersidekap, melainkan tergantung di kedua sisi tubuhnya.
Betapa terkejutnya Arianne ketika Si Anak Prancis menghampirinya, merogoh saku celananya sebentar, dan menjejalkan beberapa benda secara tiba-tiba ke tangan Arianne.
”Miss. Maafkan aku sudah mengambil permen lolipopmu kemarin. Aku tidak tahu kau begitu suka permen. Ini ada beberapa permen. Ambillah.” Arianne memandang isi tangannya sejenak. Beberapa buah permen entah apa saja telah ada dalam genggamannya. Selama beberapa detik ia tak melepas pandangannya. Entah kenapa, yang muncul bukanlah rasa terima kasih, setelah melihat demonstrasi kebaikan anak itu. Justru perasaan kesal bercampur kasihan yang muncul ke permukaan.
Ketika akhirnya kepalanya mendongak, menatap kembali Si Anak Prancis, senyum sinis tersungging di bibirnya. "Pertama," ucapnya dengan suara meremehkan, "kau tak usah sok pahlawan, apalagi di depanku. Kalau kau tidak tahu masalahnya tidak usah sok tahu." Hening sejenak. Arianne menghela napas singkat tanpa terlihat, kemudian melanjutkan.
"Kedua," Arianne melirik tangannya, kemudian menjatuhkan semua permen di genggamannya, senyumnya semakin sinis saat matanya kembali terarah pada Si Anak Prancis, "aku tidak butuh permen-permenmu. Cari saja orang lain yang mau. Dan ketiga," Arianne memandangnya sekilas dari bawah ke atas, barulah setelah itu menatap lagi anak itu, "bukankah sudah kukatakan? Harus berapa kali kuberitahu supaya otakmu mau mengingatnya, eh? Jangan. Usik. Urusan. Orang. Lain." Arianne mendorong pelan dada Si Anak Prancis dengan telunjuknya pada kata terakhirnya, dimana ketajaman suaranya semakin meningkat seiring menuju akhir. Mengingatkannya, bahwa ia akan tersayat jauh lebih dalam jika mencoba mencampuri masalah lebih besar yang bukan miliknya. Tak ada beban lagi. Arianne tidak ingin berada selingkungan dengan orang-orang sok ini lagi. Ia berbalik untuk mengambil tasnya dan pergi menjauh sesegera mungkin.
***
Arianne segera berbalik, meniatkan dirinya untuk pergi secepatnya. Mungkin sekalian menarik Merovingian pergi agar mereka bisa bermain atau membaca buku bersama. Namun belum selangkahpun berhasil dibuatnya, tangannya sudah tersentak keras, ditarik seseorang dari belakang, membuatnya terhuyung dan berbalik, hanya untuk mendapati bahwa Si Anak Prancis menahan bahu Arianne dengan lengannya agar tidak jatuh, dan itu memang menghindarkan Arianne dari kemungkinan jatuh. Tapi...
Arianne mendongak. Dan detik berikutnya ia sadar akan satu hal: posisi mereka sangat dekat. Terlalu dekat, malah.
Ia mendapati bahwa wajah Prancis itu tidak sedang tersenyum bodoh atau menampakkan ekspresi sok pahlawan seperti tadi. Yang ada hanyalah wajah serius dengan tatapan tajam mencari. Sudut-sudut bibir Arianne berkedut, sedikit tersenyum miris, matanya balas memandang galak, menembus lautan biru di bola mata lawannya, sorot dingin tak hilang dari iris matanya yang berwarna coklat, beku. Seakan bertanya menantang,
jadi kau mau apa, heh? Arianne sama sekali tak takut padanya, meski kelamaan sorot mata biru itu seakan menuntut yang lain, entah apa, membuat Arianne gelisah. Ia sudah akan berteriak minta dilepaskan ketika dirasakannya tekanan di bahunya Melemah. Arianne mundur beberapa langkah. Mengatur kembali desah napasnya.
"Ehm, sorry 'bout that. Aku hanya tidak ingin kamu membenciku gara-gara permen."Ia masih di sana, senyum bodoh dan wajah ramah palsunya telah kembali. Dan kata-kata tak berarti meluncur dari mulutnya, lagi. Tak perlu dipertanyakan lagi, Arianne membalasnya dengan tatapan benci, kata-katanya kini dikeraskan, setengah menghina. "Apakah menarik seseorang, mencengkeramnya, kemudian menatapnya dengan pandangan bego adalah cara orang Prancis meminta maaf? Mengagumkan sekali," ejek Arianne sarkastis. Tangannya mencengkeram pergelangan tangan satunya yang sakit karena ditarik. Kemeja putihnya kini tak lagi rapi akibat insiden penarikan itu. Rambut coklatnya tak beraturan, helai-helai terluarnya ditiup angin.
"Sedang apa kau dengan dia?"Teriakan seorang anak perempuan menggaung di tengah ketegangan yang terjadi. Arianne menoleh. Si nona-pirang-bangsawan-Prancis-yang-angkuh rupanya. Yang pernah ditemui Arianne di Leaky Cauldron. Ia menunjuk-nunjuk Arianne, yang dibalas Arianne dengan ekspresi tak suka. Tak lama, suara anak perempuan lain terdengar, mendesis pada Arianne dan menyapa ramah pada Si Anak Prancis. Blanche, rupanya itu namanya. Anak perempuan pirang yang sempat sekompartemen dengan Arianne. Arianne mengernyit kesal melihat kedatangan kedua orang itu. Dan digantikan oleh ekspresi murka tatkala pemahaman menguasainya.
"Jadi ini alasan sebenarnya kau menarikku, eh? Supaya aku tidak pergi dan teman-temanmu datang dan bisa mengeroyokku?" seru Arianne marah, menatap dingin semua pendatang baru itu. Ia tidak suka dikeroyok. Sudah cukup pengalamannya dengan hal itu, terlebih ketika terakhir kali ia melihat Mark terluka parah akibat dipukuli dan Will mengalami shock berat. "Pengecut!" desisnya amat merendahkan.
***
Arianne hanya memandang dingin si gadis pirang yang sempat sekompartemen dengannya itu, yang sekarang menjawab pertanyaan Arianne dengan nada santai, soal bahwa ia tak berniat mengeroyok Arianne karena ia punya otak walaupun dia disebut nona alien imbisil, dan bahwa ia tak mengenal si nona-bangsawan-pirang-yang-angkuh. Ia juga memperkenalkan namanya dengan nada ramah, walaupun ekspresinya lain. Tak sinkron, artinya palsu. Arianne memandang si Roosevelt dengan pandangan menilai. "Ya. Namaku Arianne Ravell. Dan kalau kau memang punya otak, maka kau takkan coba-coba campuri urusanku, Miss Roosevelt. Kecuali kalau kau punya kepentingan di dalamnya," tukas Arianne akhirnya, masih melancarkan tatapan membekukan, sementara tangannya menggosok-gosok pergelangan tangan satunya.
Otak Arianne secara otomatis memutar balik, mengingat apalagi yang dikatakan Roosevelt itu.
Cemburu? Idola? Apa urusannya sampai-sampai harus cemburu pada Arianne? Idola, anak laki-laki Prancis ini? Yang benar saja. Apa bagusnya dia? batin Arianne setengah mengejek. Matanya mengerling pada Blanche, yang ada di antara- eh, kemana dia? Arianne menggerakkan kepalanya sedikit sampai mendapati Blanche ditarik dan diceramahi oleh anak perempuan berambut panjang yang tadinya ada di atas pohon. Sejak kapan ia turun?
"Mademoiselle, maafkan temanku ini,"Si anak perempuan berambut panjang yang sama-sama Gryffindor, seperti Blanche, memintakan maaf untuk anak Prancis itu. Apa karena mereka sama-sama dari Prancis, eh? Memangnya ada soldaritas macam ini di Prancis? Antar-teman?
Hmmph, tak mungkin, jika mereka bahkan bersedia memutuskan hubungan hanya karena status darah. Bodoh kau, Arianne, batinnya pahit. Arianne memandang Blanche beberapa saat dengan tatapan masih agak marah, sebelum akhirnya memutuskan.
"Sedang kerepotan, eh, Phil? Memang susag kalau punya banyak penggemar.
Arianne, Kamisama, ada apa dengan soal keroyok-mengeroyok ini?""Yusuke!" seru Arianne sambil berbalik, hampir tanpa berpikir. Ia memang tak perlu lagi melihat rupa orang tersebut, ia telah hapal dalam dua tiga kali pertemuan. Raut wajahnya berubah senang begitu melihat Yusuke, dan tangannya bergerak memeluk lengan Yusuke. "Dia. Menggangguku," kata Arianne lugas sambil memasang tampang cemberut saat mengalihkan pandangannya ke arah Blanche, "Sudahlah, tak usah urusi dia. Apa yang kaulakukan di sini, Yusuke? Apa kau sudah mendapatkan sapumu? Sayang sekali aku melewatkan pelajaran terbang pertamaku karena dua hari yang lalu aku sakit," celotehnya riang, mengacuhkan semua orang yang ada di sekitarnya. Matanya melirik sekilas, dan menangkap Roosevelt menangis. "Eh, kenapa dia? Cemburu?" celetuk Arianne. Arianne memandangnya sejenak, sebelum menambahkan, "Bukan salahku."
***
"Memangnya minta maaf dibilang mengganggu ya?Arianne mendelik sebal mendengar penjelasan si gadis berambut panjang, yang kemudian diakhiri dengan pertanyaan soal apakah minta maaf termasuk mengganggu. Tentu saja jawabannya sudah jelas, tidak. Tapi jika cara meminta maafnya seperti yang dilakukan Blanche -datang saat Arianne sedang bersitegang dengan orang lain, menjejalinya permen aneh, dan mencampuri urusannya, kemudian lebih jauh lagi, menarik Arianne hingga pergelangan tangannya sakit dan membuat anak-anak perempuan itu berdatangan dan memandang sinis Arianne- apakah itu tidak termasuk mengganggu? Tapi Arianne tidak menjawab atau menimpali sedikitpun. Ia hanya memandang kesal sambil tetap memeluk lengan Yusuke, dan membatin kesal,
Aku bukan anak Asia. Kernyitan heran bercampur kesal menghiasi wajahnya.
Roosevelt menjawab pertanyaan Arianne, bahwa bibinya meninggal gara-gara keracunan. Arianne hanya bisa menatap kosong anak perempuan itu yang kemudian melanjutkan isaknya. Arianne tak begitu tahu rasanya kehilangan bibi. Ia tak pernah mengenal bibinya. Orangtuanya? Dua orang bodoh itu telah mengakhiri hidupnya di jalanan, dan mungkin tadinya berniat mengajak Arianne ikut serta. Tapi maaf saja, Arianne bisa selamat karena sihir-tak-sengajanya bekerja pada saat itu. Ia tak bersedia menemani mereka mati, dan ia tidak sedih atas kematian mereka. Tidak sama sekali...
Blanche memandang Arianne tajam, dan berkata kalau ia takkan mengganggu lebih lanjut, dan kelihatannya Arianne lebih nyaman berbicara dengan Yusuke daripada dirinya, kemudian menarik si anak berambut panjang untuk pergi. Arianne tidak menanggapinya, dan hanya melirik tanpa minat ketika Blanche melewati Roosevelt, mengacak rambutnya. Yang membuatnya terperanjat adalah teriakan si gadis berambut panjang ketika ia sudah berjalan beberapa langkah dari tempat Roosevelt berdiri. Arianne langsung melepaskan salah satu tangannya dari Yusuke, sementara tangan lainnya turun dan menggenggam tangan Yusuke. Arianne melempar pandangan benci pada mereka.
"KAU MENUDUH AKU BERBOHONG? KALAU BEGITU UNTUK APA DIA MENCAMPURI URUSANKU DAN MENARIK TANGANKU SAMPAI SAKIT? APA NAMANYA ITU KALAU BUKAN MENGGANGGU?" Arianne berteriak keras, membalas kata-kata si anak perempuan berambut panjang yang meleletkan lidahnya dengan mengejek itu. "DAN AKU BUKAN ANAK ASIA, AKU ORANG PRANCIS!" tambahnya kesal. Arianne ingin sekali menyangkal fakta ini, ingin sekali bisa mengatakan dengan lantang kalau ia orang Amerika, karena toh ia tinggal sangat lama di Amerika. Tapi kedua orangtua Arianne adalah orang Prancis, itu tak bisa dipungkiri. Dan Maurice takkan mengizinkan Arianne mengakui dirinya sebagai orang Amerika.
Genggaman hangat dalam tangannya mengingatkannya bahwa ia tak sendirian di situ. Arianne menoleh pada Yusuke dan memandangnya. "Kau percaya padaku kan, Yusuke?" katanya sambil melempar pandang bertanya. Ia tak peduli apa kata anak-anak Prancis itu. Tapi ia jelas tak mau disalah artikan oleh Yusuke.
***
"Er... Nona Ravell, kumohon jangan berteriak lagi..." ucapnya, sambil memegangi telinganya yang sakit.Roosevelt bicara lagi pada Arianne, memintanya diam. Tangan Arianne yang menggenggam tangan Yusuke ditarik segera setelah ia berteriak membalas di gadis Gryffindor berambut panjang. Disusul omelan Yusuke yang melarangnya berteriak. Telunjuknya berada di depan mulut, mengisyaratkan hal yang sama. "Tapi, tapi..." Arianne mencoba membantah, tapi tak ayal menutup mulutnya juga. Ia merengut, kemudian memandang sebal lagi kedua anak Prancis itu yang telah jauh.
"Nona, kalau kau mau Ricotta, ambil saja..." ucapnya sambil mengambil sesuatu dalam sakunya cepat lalu memberikannya pada Ravell. "Aku pergi dulu, aku harus..." terhenti di bagian akhir. "Harus melakukan sesuatu. Bye."Roosevelt tiba-tiba saja sudah ada di dekat Arianne, entah sejak kapan, Arianne tidak melihatnya beranjak mendekatinya. Ia menjejalkan sesuatu bernama Ricotta ke tangan Arianne, kemudian berpamitan. Ia melambai dan segera berlari menuju kastil. Arianne memandangi benda di tangannya, lalu beralih pada Roosevelt yang juga sudah jauh, dilanjutkan melirik Yusuke yang melakukan hal yang sama dengannya, sambil tersenyum tipis. Arianne mengalihkan pandangannya dan memasukkan Ricotta pemberian Roosevelt ke dalam saku roknya,
Genggaman tangan Yusuke pada Arianne terlepas, dan saat Arianne menoleh padanya, terasa tepukan di kepalanya. Tangan Yusuke. Ia menjawab bahwa ia percaya pada Arianne... dan Phil. "Phil?" gumam Arianne bingung, dan baru sedetik kemudian ia sadar bahwa yang dimaksud adalah si Blanche. Berikutnya Yusuke menurunkan tangannya dan menepuk bahu Arianne, dan sambil agak membungkuk agar wajah mereka sejajar, ia bicara lagi.
“aku bicara begitu karena aku percaya pada kalian berdua. Aku tahu kalian jujur. Hanya saja, Phil tak berani berkata apapun karena terlalu banyak yang menyudutkannya. Aku kenal Phil sejak setahun lalu, dan memang itulah sifatnya. Tak suka disudutkan,”
“dan kau, Arianne, aku memang baru mengenalmu sebentar. Aku juga percaya padamu. Hakmu untuk marah jika kau memang merasa terganggu seperti yang kau katakan. Dan yang perlu kau ketahui, Phil tidak mengeroyokmu. Anak-anak perempuan tadi adalah penggemar—tidak, anak-anak yang naksir Phil. Itu semua hanya salah paham. Sekali lagi, SALAH PAHAM,“Arianne membiarkan Yusuke bicara sampai selesai dan membuat ekspresinya biasa saja, hingga sampai ke akhir kalimat. Seringainya muncul mendengar kata-kata Yusuke. "Naksir, Yusuke?" tanyanya dengan cengiran lebar yang jarang sekali ditunjukkannya, "Umur mereka berapa sih? Hahaha... Aku tidak tahu bahwa di Inggris umur sebelas tahun sudah mulai rebutan cowok," katanya, tangannya menyingkirkan rambutnya yang terbang menutupi wajahnya. "Aku tidak akan menyudutkan Blanche kalau dia tidak menggangguku, dan tidak akan menuduh orang lain dengan cepat kalau tidak ada kepastian," sambung Arianne. "Mau kembali ke kastil?"
Dicabutnya tongkat sihirnya yang disembunyikan di caku roknya, dan dilambaikannya tongkat itu. "Wingardium Leviosa," ujarnya berirama, dan tasnya yang tergeletak di tanah segera melayang menghampirinya. Arianne menangkap tas itu, dan menyelempangkannya di pundaknya. Ia memandang dingin Chastain yang masih berdiri di tempatnya semula, entah apa yang dilakukannya sejak tadi, dan mengalihkan pandangannya ke kasti. Ditariknya tangan Yusuke sambil berjalan, "Ayo kita pergi!"
Saturday, April 19, 2008
4:46 PM
Sorting Hat
Perjalanan dengan perahu tadi tidak terlalu buruk, meskipun Arianne tidak suka dengan pemandangan air yang gelap. Malam ini Arianne lebih banyak diam, tidak ingin mengobrol sepatah katapun dengan 'teman' seperjalanannya. Ia lebih berusaha menikmati perjalanannya tanpa banyak cingcong. Arianne ternyata tidak benci dengan jenis alat transportasi yang satu ini. Goyangannya membuat Arianne merasa dalam ayunan, atau merasa bahwa dirinya sedang menari dan goyangannya menstimulasi suara indah bergaung di telinganya, entah suara apa itu. Sayangnya dalam hitungan menit, perjalanan harus berakhir.
Sang raksasa membawa anak-anak kelas satu ke sebuah kastil hitam menyeramkan -karena saat itu sudah malam, mengetuk pintunya tiga kali sebelum si pintu terbuka, dan membawa mereka masuk ke dalam sebuah Aula yang penuh dengan anak-anak yang duduk di sekeliling empat meja panjang, sepertinya mereka adalah anak-anak yang lebih tua dari Arianne. Arianne sama sekali tidak berhenti untuk memandang mereka, atau memandang langit-langit sihir yang terlihat bagaikan suasana di luar, atau bahkan untuk mengomentari lilin-lilin terbang atau hantu-hantu transparan yang unjuk kebolehan. Sekali lagi, ia sudah membacanya sedikit di buku sejarah yang dibelinya, juga di buku panduan yang dituliskan oleh Maurice yang entah bagaimana mengetahui keadaan di Hogwarts. Maurice tidak pernah bercerita kalau dia pernah bersekolah di Hogwarts juga. Arianne selalu menganggap Maurice adalah lulusan Beauxbatons, dan Maurice tidak pernah membantah hal itu.
Anak-anak berhenti berjalan. Arianne ikut berhenti dan berdiri dalam barisan, mengikuti anak-anak lain. Sepertinya mereka akan diseleksi masuk asrama, seperti yang tertulis dalam bukunya Maurice. Arianne berusaha tidak berisik dan berbisik-bisik bodoh seperti yang dilakukan anak-anak lain, yang kagum hanya karena lilin terbang. Arianne memang jarang sekali melihat demonstrasi sihir, karena Maurice amat jarang menggunakan sihirnya di lingkungan Muggle tempat tinggal mereka. Namun ia juga tidak dengan norak ber-ooh dan ber-ahh ria, kalaupun ia melakukan hal itu, hanya dalam hati.
Si Topi Seleksi -begitu sebutannya- akhirnya mulai bernyanyi, melantunkan lagu anehnya. Arianne mendengarkan dengan baik, dalam hati heran dengan lagu bodoh si topi seleksi, tapi berusaha tak ambil pusing. Ia bercerita tentang keempat asrama yang ada di Hogwarts itu, dan kualifikasi yang diinginkan dari murid-muridnya.
Gryfffindor yang pemberani dan perkasa, Arianne menelengkan kepalanya sedikit, tak merasa terlalu berani ataupun perkasa. Lain halnya kalau misalnya ia ditantang, maka Arianne akan berani menerimanya, apapun itu.
Ravenclaw yang cerdas dan suka belajar, Arianne mengernyitkan dahinya kini,
bagaimana Topi itu bisa tahu aku suka belajar atau tidak? Jangan-jangan ia mengintipi kamarku setiap malam dengan sihir? Juga melihat rapor sekolahku? batinnya agak gusar, melihat sedikit fakta bahwa ada sesuatu yang di luar kendalinya.
Hufflepuff yang ramah, jujur, dan setia, yeah, Arianne setia pada apa yang dipegangnya, tapi ia terkadang tidak jujur. Juga kadang menatap galak orang yang tidak disukainya. Apa asrama yang ini mau menerima Arianne?
Dan Slytherin yang ambisius dan... Darah Murni?
Oh, yang benar saja? Jadi sekolah ini juga membeda-bedakan orang berdasarkan Darah? Seperti anak Prancis yang di bar itu? Arianne menarik tepi samping jubahnya dengan agak keras, kesal dengan sesuatu yang lagi-lagi baru diketahuinya. Maurice tidak menyebutkan ada kualifikasi darah begini.
Maurice tidak tahu apa-apa, kalau begitu, katanya menghela napas agar tidak kesal, akhirnya pasrah saja karena ia tidak bisa mengubah kenyataan itu.
Sudahlah, Arianne tak terlalu peduli tentang hal itu, tentang akan dimasukkan ke asrama mana ia, yang penting cepat selesai, karena berdiri bagai disorot seribu lampu di tengah panggung begini membuatnya jengah. Karena mereka diperhatikan seperti itu bukan karena prestasi atau hal yang hebat, tapi cuma sebagai tontonan anak-anak yang penasaran. Ia juga sudah agak lapar. Meskipun begitu, sedikit kesadarannya menarik-nariknya, penasaran dengan apa yang dilakukan topi itu. Maksudnya, bagaimana bisa sebuah topi hidup dan bernyanyi, memiliki otak dan kemampuan untuk memilih dan memasukkan seorang anak ke asrama yang cocok untuknya? Misteri ini tidak ada di buku yang ia baca maupun dalam penjelasan Maurice. Mungkin Maurice melewatkan menceritakan bagian itu? Ah, tapi sepertinya Mauricepun tak tahu.
Arianne berusaha menunggu dengan sabar, satu-persatu nama dipanggil. Ia mendengarkan nama-nama itu, mungkin salah satunya akan menjadi teman seasramanya. Mungkin mereka akan jadi temannya, kalau mereka tidak bersikap menyebalkan. Bosan, matanya memandang langit-langit yang disihir seperti langit di luaran. Mantra apa yang digunakan? Sepertinya Arianne juga tidak membaca mengenai hal itu di salah satu bukunya. Kenapa buku-bukunya ternyata tidak lengkap? Percuma ia membawa buku-bukunya kalau begitu. Sepertinya memang sejak awal seharusnya buku-buku itu ia buang. Hingga akhirnya, "Ravell, Arianne." Namanya dipanggil.
Kakinya melangkah mantap, meskipun dalam hati ia sedikit gentar. Sedikit, hanya sedikit ia cemas memikirkan ke asrama mana ia akan dimasukkan. Namun didorongnya jauh-jauh pikiran itu, asrama manapun jadi dan tak buruk untuknya. Semua punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Arianne memasang topi itu di kepalanya, yang langsung melorot melewati matanya, menutupi pandangannya. Dan pikirannya seakan tersapu, kesadaran lain seakan memasuki kesadaran miliknya.
Oh, cepatlah! Tak usah buang waktuku! Masukkan aku ke mana saja yang kau suka! Tapi kuharap kau mau menjawab pertanyaanku setelahnya, bagaimana caranya kau bisa berpikir dan memilih kemana anak-anak baru ke asrama yang cocok bagi mereka seperti ini? Maksudku... Apakah mereka benar-benar membelah kepala mereka dan mengeluarkan otak masing-masing untuk diberikan padamu? pikirnya cepat, tahu bahwa topi itu akan 'mendengar'nya.
4:44 PM
Menembus Palang Rintang - Kompartemen Lima
Arianne tak pernah menyukai mobil. Tak pernah, meski dalam bentuk yang berbeda. Namun untuk kepentingannya ke Hogwarts, sekali lagi ia bersedia mengalah. Dengan pasrah menaiki kendaraan gila bernama Bus Ksatria, menuju King's Cross.
Meskipun cara jalannya sangat mengerikan -berjalan tak tentu kecepatannya dan meledak-ledak setiap kali akan berhenti atau jalan- namun Arianne mengakui bahwa cara bepergian ini cepat dan efektif. Ia hanya perlu membayar empat belas sickle, menutup mata dan berpegangan erat sepanjang perjalanan, dan dalam waktu beberapa belas menit, ia sudah bisa menurunkan kopernya dari bus terkutuk itu.
Stasiun benar-benar penuh. Troli yang dibawa Arianne berkali-kali menyenggol orang-orang yang berselisih jalan dengannya, namun tidak ada insiden berbuntut panjang karena hal itu, orang-orang terlalu sibuk sehingga saling bertukar gumaman maaf sudah cukup bagi mereka untuk saling memaafkan dan melupakan kesalahan. Lima belas menit sebelum pukul sebelas siang, Arianne sudah sampai di depan palang rintang antara peron sembilan dan sepuluh, rambutnya yang tergerai dan hanya ditutupi topi agak berantakan karena tertiup angin, helai-helai rambutnya juga menempel pada dahinya atau pipinya karena peluh.
Maurice -seperti biasa- memberi instruksi berulang-ulang tentang apa yang harus dilakukan Arianne, membuatnya jengkel. Meski Arianne tahu bahwa Maurice hanya memperhatikannya, namun menurutnya Maurice terlalu berlebihan. Arianne tidak bodoh sampai-sampai harus diberitahu berulang -tiga puluh- kali begitu. Ia bahkan sudah berniat membuang semua bukunya ke tempat sampah, karena setelah membaca sekali Arianne telah mengerti semua isinya. Mengerti, bukan hapal. Tapi Maurice yang sepertinya sudah mengerti dengan watak Arianne mengiriminya surat semalam, melarang keras Arianne untuk membuang buku-bukunya karena Arianne akan memerlukannya. Arianne mengeluh pelan. Kopernya tambah berat.
Yang harus dilakukannya sebenarnya mudah. Dan dilakukan Arianne dengan sukses. Arianne berjalan santai mendorong trolinya menuju ke tembok kokoh itu, sambil memejamkan matanya, dan ia sama sekali tak merasakan dirinya membentur suatu penghalang, hanya perubahan atmosfer sedikit, dan kegelapan pekat yang menyelubunginya, membawanya...
... ke Peron sembilan tiga perempat yang sudah ada di hadapannya saat Arianne membuka mata, merasakan kehangatan dan kegelapan yang tersingkap darinya. Terlihat oleh matanya sebuah kereta besar, kereta yang akan membawanya ke Hogwarts, yang disebut Hogwarts Express.
Kereta uap merah tua itu telah penuh sesak, dijejali, masuk dan keluar para penumpang dari dan ke dalamnya. Kebanyakan didominasi oleh anak-anak berumur antara sebelas hingga delapan belas tahun. Sebagian besar dari mereka nampaknya diantar oleh orangtua atau kerabat mereka. Arianne berjalan melewati mereka tanpa melirik sedikitpun, tanpa perubahan ekspresi yang berarti dari dirinya yang biasa, cukup ramah, namun tanpa senyum. Ia berjalan tetap dinamis dan luwes bersama trolinya menuju salah satu pintu kereta.
Arianne mencoba mengangkat kopernya ke atas kereta saat ia telah sampai di ambang pintu salah satunya. Tidak bisa, terlalu berat. Dalam hati ia merutuk, menyesali kenapa ia mematuhi nasihat Maurice. Seharusnya ia membuang saja buku-buku pelajaran yang tidak diperlukannya itu. Tapi sekarang sudah terlambat, ia tak bisa membuang buku-buku itu di sini, orang-orang akan memandangnya aneh. Lagipula kasihan Maurice yang sudah mempergunakan uangnya untuk membeli buku-buku Arianne. Arianne tahu bahwa itu uangnya sendiri, benar-benar uang Maurice, karena Arianne mengambilnya dari lemari besi Maurice. Bukan berarti orangtua Arianne tidak meninggalkan uang bagi Arianne, mereka punya lemari besi sendiri yang diwariskan padanya, namun... karena suatu hal, Arianne tidak ingin memakainya. Maurice sendiri bersikeras agar Arianne menjadi tanggung jawabnya sehingga itu berarti Arianne dibiayai olehnya. Dan Maurice sudah jelas bekerja keras untuk bisa memenuhi kebutuhannya dan Arianne setelah orangtua Arianne meninggal, sampai-sampai ia tak bisa mengantar Arianne untuk ke Diagon Alley dan ke King's Cross. Tetapi Arianne maklum, dan ia memang bisa melakukan ini sendiri, tak masalah.
Tak ada jalan lain lagi. Arianne memutar sedikit otaknya, dan menemukan jalan keluar. Ia menjejakkan kaki ke atas kereta, membiarkan kopernya berdiri di bawah. Setalah mampu berdiri tegak di atas, Arianne melingkarkan satu tangannya ke pegangan yang ada di pintu kereta, sementara tubuhnya dibungkukkan agar tangannya yang satunya bisa menggapai kopernya. Dapat! Arianne menariknya sekuat tenaga, dan... untungnya kopernya berhasil dinaikkannya ke kereta. Rupanya kebiasaannya lari pagi dan setiap hari bermain-apapun-dengan-teman-temannya membawa dampak yang positif.
Arianne berjalan menyusuri koridor kereta sambil menarik kopernya yang beroda. Ia mengintip setiap kompartemen yang dilaluinya, rata-rata sudah terisi beberapa orang. Hingga akhirnya Arianne menggeser pintunya dan masuk, mendudukkan dirinya di kursi dekat jendela dan membiarkan kopernya di dekat kakinya. Ia tak bisa menaikkan koper berat itu, mau bagaimana lagi? Lebih baik tetap disimpan di bawah, kan. Arianne menyibakkan rambut panjangnya ke belakang, membuka topinya, dan mengusap peluh yang sedikit mengucur di dahinya. Ia merapikan rambutnya sedikit, memakai kembali topinya dan sambil bertopang dagu pada sandaran tangan, ia menatap keluar kompartemen melihat keramaian di luar kereta.
4:36 PM
Silent Night
Malam itu sepi. Keheningan serasa merajai seakan mengetahui ketegangan seorang gadis kecil yang akan menyongsong takdir besarnya esok lusa. Arianne duduk di tepi jendela di lantai dua, di luar kamarnya, memandang jalanan Muggle di bawahnya yang nampak hiruk pikuk, namun suaranya tak sampai pada Arianne. Meski hanya dihangatkan jaket hitamnya, namun Arianne tak bergeming dari tempatnya, ekspresi tenangnya tetap terjaga meski hatinya gelisah.
Tanggal satu September pukul sebelas siang Arianne akan menaiki kereta api menuju Hogwarts. Ia sudah mengepak pakaiannya dan barang-barangnya dengan cermat. Ia telah membaca semua buku yang dibelinya di Diagon Alley. Ia sudah menyusun garis besar rencana apa yang akan dilakukannya di Hogwarts tahun ini. Singkatnya, Arianne sudah mempersiapkan semua hal yang diperlukannya untuk menjalani tahun ajarannya di Hogwarts. Sekilas, semua ini tampak baik dan terencana. Bahkan lebih dari yang bisa diharapkan dari seorang gadis kecil untuk bisa dilakukannya; anak-anak lain mungkin hanya mengepak dan melakukan hal-hal lain itu atas perintah orangtuanya. Atau lebih buruk lagi, mereka masih mengandalkan orangtuanya atau pelayannya (biasanya para bangsawan sok yang melakukan ini) untuk melakukan semua itu. Arianne sangat gugup untuk esok hari. Well, itu wajar bukan? Setiap anak akan 'demam tinggi' saat masuk di hari pertama ke sekolah barunya? Yeah, seandainya saja begitu.
Namun bagi Arianne, semuanya jauh lebih sulit dan rumit. Lebih menyesakkan daripada disuruh membaca sebuah buku tebal tentang transfigurasi benda mati menjadi benda mati lain bentuk dan harus mengerti isinya dalam sekali baca. Lagipula Arianne memang sudah melakukannya semalam. Mudah. Tidak, baginya pergi ke Hogwarts jauh, jauh lebih menimbulkan kegugupan dibanding yang bisa dirasakan anak lain. Kepergiannya kali ini akan mengubah hidupnya, karena itu berarti ia memutuskan untuk menentang keluarganya, keluarga jauhnya yang sama sekali tak dikenalnya.
Ayah Arianne adalah seorang penyihir sejati, namun sayangnya ibunya adalah squib. Keluarga besar ayahnya, sama sekali tak menyukai kenyataan ini. Merupakan aib memiliki seorang yang tak becus dalam keluarga. Tidak, mereka bukan keluarga bangsawan, tapi jelas squib bukanlah pilihan bagus untuk dimasukkan dalam silsilah keluarga Ravell. Karenanya, Alain -ayah Arianne- diminta -atau dipaksa- memilih, keluarganya, atau wanita itu. Alain memilih Florence, yang itu berarti mereka memutuskan hubungan keluarga, selamanya, sampai ke keturunan-keturunannya.
Arianne mengetahui semua ini dari Maurice, sepupunya. Maurice adalah saudara jauh dari Alain, tinggal sendirian di Amerika setelah lulus sekolah, meninggalkan keluarganya untuk pendewasaan diri, dan mengambil Arianne saat orangtuanya meninggal. Saat itu usia Maurice barulah sembilan belas tahun, dan Arianne berusia lima tahun. Semenjak mengetahui kisah itu, Arianne membenci ayahnya, membenci ibunya, dan terlebih, membenci keluarga ayahnya yang berpikiran sempit. Mereka membuat Arianne kehilangan orangtuanya, membuatnya tak bisa mengecap kebahagiaan memiliki keluarga besar dan bercengkrama bersama sepupu-sepupunya, dan lebih jauh lagi, Arianne membenci orangtuanya karena tak mau hadir untuknya. Baginya kini, keluarganya hanyalah Maurice, tak ada lagi yang lain. Ia sama sekali tak akan mempedulikan keluarga yang telah membuangnya. Ia membenci para Prancis menyebalkan, angkuh, dan arogan itu.
Arianne tak terlalu terkejut saat mendapati bahwa ia penyihir. Ia tahu bahwa hal ini mungkin terjadi, ayahnya penyihir dan ibunya memiliki darah penyihir. Tapi betapa terperanjatnya ia tatkala Maurice menghampirinya sore itu setelah Arianne mendapatkan surat Hogwartsnya. Memintanya memilih, melanjutkan ke sekolah menengah Muggle, atau menerima undangan dari Hogwarts, dan kemudian pergi ke Prancis untuk bertemu keluarga ayahnya, yang akan menerimanya kembali asalkan ia berkualitas sebagai penyihir.
"Dan kenapa aku tidak bersekolah di... Beubbatongs?" tanya Arianne, raut wajahnya agak mengeras, namun kemudian normal kembali dan suaranya tertekan hingga terdengar seperti biasa. Raut wajahnya kembali ber'topeng', cuek."Beauxbatons. Kau mendapatkan undangan dari Hogwarts, bukan dari Beauxbatons, meski aku curiga itu atas campur tangan kakekmu sehingga mereka tidak mengirimimu su--""Kalau begitu sudah jelas. Mereka tidak menginginkanku!" teriak Arianne keras, seketika, dan ia segera berlari keluar rumah.Memang saat itu ia berperilaku buruk pada Maurice, namun akhirnya ia mengiyakan juga. Arianne tak ingin mengecewakan Maurice yang selalu menjaganya, dan ini salah satu jalan yang diketahuinya bisa membahagiakan Maurice. "Kalau begitu, aku akan berangkat! Aku menepati janjiku, Maurice!" ujarnya agak keras, pada dirinya sendiri.
***
Tekadnya untuk berangkat ke Hogwarts telah bulat, dan suaranya yang meyakinkan itu telah mengikrarkan janji untuk bertahan di sana. Arianne menatap bayangan dirinya sendiri yang terpantul di jendela bangunan itu.
Tiba-tiba, terdengar suara derap langkah kaki, dari suaranya Arianne tahu itu suara manusia. Namun ia mengabaikannya, tetap memandang kekelaman di luar. Ia telah terbiasa memperhatikan semuanya atau sebaliknya, mengabaikan sekitarnya. Tapi setelahnya, Arianne merasakan ada yang memegang pundaknya dan memutar tubuhnya, kemudian...
PLAK! PLAK!"Hei! Sadarlah! Sadarlah! HEI SETAN! JANGAN GANGGU DIA! CEPAT KELUAR DARI TUBUHNYA!" Vinzzz berteriak dengan tegas tapi tidak terlalu kencang agar tidak mengganggu yang lain.Arianne terhenyak beberapa saat ketika tubuhnya diputar oleh seorang anak laki-laki yang dikenalinya sebagai anak yang bekerja di penginapan itu. Dan baru tersadar ketika pipinya ditampar keras. Kedua pipinya. Ia sangat terkejut sehingga tak bisa bereaksi segera setelah ditampar. Yang bisa dilakukannya hanyalah mengerjapkan mata dua kali sambil memandang bingung pada si anak laki-laki.
BRUSTT!Vinzzz menyemprotkan air yang tadi diminumnya ke muka anak itu. Berharap ia cepat sadar dari kesurupan itu. Vinzzz menaruh gelas itu di lantai kemudian berkata dengan khawatir."Kau tidak apa-apa?"Air dingin menerpa wajahnya, membuatnya langsung tersadar. "Aaaaaaaaaaaaaaaaargghh, apa yang kau lakukaaaan?!" Arianne berteriak keras sambil memukul keras puncak kepala anak-laki-laki yang menyemprot wajahnya dengan tangannya yang terkepal. Semoga sakit. Arianne langsung menarik tangannya dan menyentuh pipinya yang memerah akibat ditampar, juga basah. Air apa sih yang dia gunakan?
Arianne mengingat-ngingat apa yang diucapkan dengan tidak jelas oleh anak laki-laki itu, Setan? Apa maksudnya? "Kau yang setan!" sergah Arianne sambil menatap kesal si anak-laki-laki itu, masih memegang pipinya yang sakit.
***
Pipi Arianne benar-benar terasa sakit. Ia bahkan bisa merasakan panasnya, tahu bahwa pasti telah ada bekas merah membentuk telapak tangan di situ. Ada apa sih dengan anak itu? Kenapa berteriak-teriak seperti orang gila? batin Arianne sambil masih memandangi anak laki-laki itu dengan kesal. Kalau saja ia tidak tahu anak laki-laki ini bekerja di sini, mungkin Arianne sudah menendangnya hingga terjengkang atau pingsan.
"TOLONG! TOLONG! ADA ORANG YANG MAU DIBUNUH! ADA MANIAK YANG MAU MEMBUNUH!"Arianne menoleh, seorang anak laki-laki lain yang berambut agak jigrak muncul di tangga dan tiba-tiba berteriak soal pembunuhan. Arianne membeku sesaat.
Pembunuh?! Jangan-jangan, anak laki-laki ini yang maniak pembunuh? Arianne benar-benar tak bisa bergerak, ketakutan menjalari tubuhnya. Dan sepertinya anak laki-laki berambut agak jigrak benar. Anak-laki-laki tukang tampar ini tertawa mengerikan, kemudian berteriak.
"APA? APA? SIAPA PEMBUNUH?" Vinzzz menghampirinya kemudian memegang pundaknya dan menggoyangkannya. Vinzzz dengan cepat mengambil tongkat sihir dan mengeluarkan mantra,"PETRIFICUS TOTALUS!" Seketika anak itu diam dan tidak berteriak-teriak lagi. Vinzzz memperhatikan gadis yang tadi kesurupan itu masih diam. "ALOHOMORA!" Pintu itu terbuka. Vinzzz mengangkat karung berisi anak itu kemudian memasukan anak itu kedalam dan menutup pintu itu kembali.Rangkaian kejadian itu berlangsung sangat cepat. Arianne hanya bisa menyaksikannya dnegan mulut menganga dan tangan memegang pipinya yang merah bekas ditampar. Bayangan mengerikan mulai muncul di kepalanya. Kengerikan melintas di hatinya, meratap. Apakah malam ini adalah malam terakhir hidupnya? Ya ampun, jangan! Arianne baru saja ingin pergi ke Hogwarts, untuk masa depannya dan juhga untuk menyenangkan Maurice. Ia tidak mau mati sekarang, apalagi di tangan maniak begini. Jangan.. Jangan...J
angan, jangan, aku tidak mau mati... Tolong aku, Maurice... Pikirannya akhirnya terbawa pada racauan dalam hatinya, memohon bantuan entah pada siapa. Tapi sepertinya ratapannya -atau mungkin doanya- tidak terkabul.
Si anak laki-laki menepuk kedua tangannya dan mendekati Arianne lagi sambil bertanya apakah Arianne sudah sadar atau belum. Tangannya sudah siap di udara. Arianne tak ragu lagi dengan niatnya. Anak itu pasti berniat menyakiti dan menyiksa Arianne lagi. Arianne memandangnya dengan sorot mata takut kali ini.
"Ada apa sebenarnya?!" dia meminta penjelasan mereka.Terdengar suara seorang anak perempuan kini, membuat Arianne menoleh ke arahnya namun tidak menurunkan tingkat kewaspadaannya dari si anak laki-laki. Arianne tidak mau mati dicekik oleh anak itu. Arianne segera bangkit dari tempat duduknya dan berlari menjauhi anak laki-laki maniak pembunuh itu sekaligus mendekati si anak perempuan.
"Tolong! Tolong, ada maniak pembunuh yang lepas dari St. Mungo!" teriaknya asal sambil bersembunyi di belakang anak perempuan itu, memandang takut pada si anak laki-laki. "Lakukan sesuatu! Sihir dia jadi kodok! Bakar dia! Kutuk dia dengan Kutukan Pencekik Leher! Cekoki dia dengan Ramuan Penenang atau Ramuan Tidur! Cepat lakukan sesuatu, atau kalau tidak dia akan membunuh kita berdua!" racau Arianne sambil mengcengkeram tangan si anak perempuan. Ia menyebutkan semua metode yang terlintas di pikirannya untuk melumpuhkan si maniak pembunuh. Meskipun ia tidak tahu bagaimana caranya melakukan kutukan-kutukan itu, ataupun tentang bentuk nyata Ramuan-ramuan yang disebutkannya tadi. Atau bagaimana rupa St. Mungo. Ia mengetahuinya dari buku-buku yang baru saja dibelinya di Diagon Alley yang semuanya sudah selesai ia baca, dan dari buku-buku milik Maurice.
Maurice, tolong aku... batinnya lagi dengan pilu.
***
Arianne membeku diam di samping anak perempuan berambut hitam itu, mencengkeram tanganya erat sambil tak melepaskan tatapannya dari si anak laki-laki maniak pembunuh. Yang kemudian mendekati Arianne sambil mengeluarkan tatapan aneh dan mengambil kain pel serta membasuhnya dengan air dalam ember. Kemduian si anak laki-laki mendatangi Arianne. membuatnya makin kaku tak bisa bergerak.
Tangan si anak laki-laki semakin mendekat pada Arianne yang memandangnya takut, kemudian menutup matanya -satu-satunya bagian tubuhnya yang bisa bergerak- dan menunggu apa yang terjadi. Anak laki-laki itu... mengelap mukanya? Dia memang sudah gila. Kini Arianne sudah tak ragu lagi. Arianne memicingkan mata saat kain lap itu sudah tak dirasakannya lagi ada di wajahnya. Apa yang direncanakan anak laki-laki itu? Mencekik Arianne dengan kain pel itu?
Dan tiba-tiba... kain pel itu sudah melayang dilempar oleh anak laki-laki maniak pembunuh itu dan si kain mendarat di muka Arianne. Membuat wajahnya makin basah. Arianne memejamkan matanya lagi saat kain itu mengenai wajahnya sementara debar jantungnya makin kencang. Tangannya segera bergerak mengambil kain lap itu, dan dilihatnya lagi si anak laki-laki, membuka kamar dan mengambil karung berisi anak laki-laki berambut jigrak, kemudian mencekokinya dengan air dalam ember itu.
"Kau tidak apa-apa teman? Lain kali jangan berteriak disini terutama di malam hari. Saya hanya menolong dia yang kesurupan." Vinzzz berkata dengan tegas kepadanya."Dan kau Nona, apa kau sudah sadar sekarang? Aku rasa kamu perlu beristirahat. Atau kau memerlukan yang lainnya?"Maniak! Maniak! Arianne terkejut saat anak itu bertanya padanya apa dia sudah sadar dan memerlukan yang lain. Anak itu mau menyiksanya lagi! Arianne semakin menyembunyikan dirinya di belakang anak perempuan yang ada di depannya. Arianne menggeleng cepat dan melepaskan tangannya dari tangan di anak perempuan, sekarang bersembunyi di belakang punggungnya. Ia merasa matanya panas, dan ia ingin sekali Maurice ada di sini menolongnya.
Dari balik bahu si anak perempuan, Arianne melihat anak laki-laki yang rambutnya agak jigrak agak bergerak, kemudian mendorong si anak laki-laki gila dan buru-buru kabur. Bagus, dia bisa kabur, sekarang bagaimana nasib Arianne, ia sasaran empuk satu-satunya sekarang.
Anak perempuan di depannya menoleh dan bertanya apa Arianne baik-baik saja. Tentu saja tidak, ya ampun, batin Arianne miris, namun ia tetap tak bisa terkata-kata. Si anak perempuan berjalan menjauhi Arianne, membuat Arianne tercekat dan ingin berteriak mencegahnya, namun suaranya tersegel. Anak perempuan itu bisa-bisa dibunuh. Arianne menatapnya panik. Namun rupanya anak perempuan itu yang pegang kendali.
PLAKK!!! PLAKK!!! PLAKK!!! "Kamu. Bisa jelaskan apa yang kamu lakukan?! Tindakanmu itu kejam. Tidak baik melakukan tindakan sekasar itu. Apa lagi kamu adalah pekerja di penginapan bukan? Memangnya atasanmu mengajarkan untuk bersikap seperti itu kepada tamu?""Bisa-bisa semua tamu kabur dengan pelayanan yang seperti ini. Memangnya kamu mau dipaksa meminum air kotor seperti anak laki-laki tadi? Atau dibasuh wajahnya dengan kain pel seperti anak perempuan itu?"Anak perempuan itu menampar keras si anak laki-laki gila. Dan memarahinya dengan tegas. Arianne menyaksikan pemandangan itu dengan terkejut. lega bahwa ada yang bisa mengendalikan anak laki-laki itu. Tak disangka perasaan panas tadi mendesaknya, dan air matanya pun keluar. Awalnya hanya butir-butir bening saja yang mengalir, namun beberapa saat kemudian isakan juga mulai keluar dari mulutnya. Arianne menghapus air matanya yang terus saja berjatuhan dan menekap mulutnya supaya suaranya tidak terdengar oleh si anak laki-laki maniak dan membuatnya sadar bahwa Arianne masih ada di situ, tapi yang terjadi malah isakannya masih keras. Arianne bahkan mulai menyebut-nyebut nama sepupunya, "Hiks ... hiks... Maurice, tolong aku..." Ia takut kalau anak laki-laki itu bisa melepaskan diri dari si anak perempuan.
Aku harus kabur. Aku harus segera pergi, batinnya. Dan itulah yang dilakukannya. Arianne mundur beberapa langkah, dan berbalik kemudian berlari sambil masih terus menangis.
***
Si anak laki-laki aneh yang menampar Arianne tadi mengejar Arianne, dan karena lorong itu kecil, ditambah kenyataan bahwa ia adalah anak laki-laki, maka dengan mudah ia dapat menangkap Arianne. Anak itu menariknya ke lantai atas, menaiki tangga demi tangga hingga sampai ke anak tangga teratas. Arianne hanya bisa pasrah diseret begitu, hanya melempar pandang tak berdaya pada si anak perempuan yang sudah meloloskan anak laki-laki gondrong ini.
Begitu sampai, anak laki-laki itu tiba-tiba bertanya,
"Sebenarnya mengapa kamu berlari Nona?" Arianne tercengang, matanya membelalak meskipun air matanya tetap mengalir. Runtuh sudah semua ketegaran dan topeng yang biasa dikenakannya. Kenapa anak itu masih juga bertanya, setelah semua perlakuan buruk yang dilakukannya pada Arianne? Yang membuatnya lebih tercengang, tiba-tiba anak itu berdiri dan memperagakan gaya aneh sambil berkata,
"SADEWA PERGI KE PASAR!!! Ting Tang Ting Tung Ting Tang Ting Tung Tinga Tang Tung," Setelah berhenti anak itu tersenyum sambil menatap Arianne, membuat Arianne terpaksa balas tersenyum kaku padanya, sebagian karena tingkahnya bergerak tadi, sebagian lagi karena takut senyum yang tadi akan berubah jadi seringai mengerikan yang mengatakan kutampar-kau-lagi-sekarang-juga.
"Biar kupanggil dirimu Sarimin saja ya? Eh...Maksudku Dewi Persik, loh bukan-bukan itu!""Aha! Kupanggil dirimu AMELIA saja ya, bukan Amelia Bones si gadis teman prefek berdada bidang itu yang dengan polosnya mengurangi poin Asrama Hufflepuff. Tapi Amelia saja."Arianne masih bengong mendengar kata-kata si anak laki-laki yang tadi menamparnya itu, apa namanya... Sadewa? Itu sebuah nama? Anak itu mencari-cari nama panggilan untuk Arianne, mengganti-gantinya dengan nama-nama yang aneh, sampai pada akhirnya memutuskan memanggilnya dengan nama Amelia saja. Arianne mengangguk bego dan membiarkan saja anak laki-laki itu memanggilnya begitu. Selanjutnya anak itu malah menyanyi sambil bergaya. Dua kali pula.
"Jadi? Sekarang kamu mau cerita mulai dari yang kau lakukan di jendela, berlari saat diriku ditampar dan juga Maurice. Ya?" Vinzzz mengangkat alisnya.Arianne ingin sekali tertawa tergelak kalau saja tidak sedang terperangkap situasi seperti ini. Gayanya saat menyanyi itu konyol dan menggelikan sekali. Namun sayangnya kondisinya sedang tidak memungkinkan. Arianne menggeleng cepat ketika anak itu memintanya bercerita, dan buku-buru lari menuruni tangga sebelum ditangkap lagi oleh anak itu. Ditemukannya pintu kamarnya, dan buru-buru dimasukinya kamar itu. Dibantingnya pintu kamar itu dan dikuncinya segera dari dalam.
4:24 PM
Leaky Cauldron - All Alone (sebelum ke Diagon Alley)
Pintu telah tertutup di belakang tubuh Arianne. Ia telah bersiap mengetuk batu bata yang akan membuat gerbang menuju Diagon Alley terbuka ketika diingatnya satu hal. Ia lupa membawa perkamen daftar perkiraan harga barang yang harus dibelinya di Diagon Alley! Padahal itu penting sekali. Ia yang mencatat dan mengkalkulasikannya sendiri, agar tidak salah. Maurice hanya mendiktekan kira-kira berapa harga barang A dan B dan seterusnya, sementara Arianne mencatatnya dan akhirnya memperkirakan berapa galleon yang dibutuhkannya untuk keperluan sekolahnya selama setahun. Idiot, gerutunya dalam hati, kemudian berbalik untuk kembali ke kamarnya.
Arianne membuka pintu, dan berpapasan dengan dua orang anak laki-laki, namun ia tak mengindahkan keduanya. Mereka berpapasan begitu saja tanpa menimbulkan kesan berarti. Matanya menjelajah sekilas, dan menemukan bahwa dalam kurum waktu beberapa puluh detik ia berada di halaman belakang Leaky Cauldron, tempat itu telah jauh lebih penuh daripada sebelumnya. Kini beberapa meja telah dikerumuni beberapa anak. Kebanyakan hanya membahas beberapa topik tak penting dan berkenalan tak berbobot. Kadang beberapa anak dengan tidak sopannya berbicara dengan suara keras, memekakkan telinga. Arianne bahkan tak perlu berhenti, ia tetap berjalan perlahan menuju ke kaki tangga, tapi ia masih sempat melempar pandang mencela pada anak-anak itu.
"Hmm... hati-hati tersesat," kata Friday pada anak lelaki itu. "Anak ini baru pertama kali ke Diagon Alley. Kau juga. Hati-hati saja diseret nenek sihir jahat ke Knockturn Alley. Kalau aku, sih telah hafal dengan baik Diagon Alley. Jadi aku tak takut akan tersesat."Suara seorang anak perempuan mampir ke telinganya, kata-katanya agak sarkastis, menyindir meskipun mungkin kata-katanya benar dan diucapkan dalam nada yang biasa saja. Ah, tidak, menurut Arianne itu justru menyesatkan. Nada biasa -seperti yang sering digunakannya juga- bisa menyimpan seribu arti. Dan kata-kata tersesat itu... mana mungkin. Konyol.
Dan kemudian kata-kata lain juga terdengar olehnya, dari seorang anak perempuan pirang. Hallo... Hva er Deres navn?" Bahasa yang asing baginya. Arianne mengacuhkan anak itu. Ini Inggris kan, jadi berbicaralah sesuai bahasanya. Masa bodoh dengan anak itu.
"Jangan bodoh. Di Diagon Alley toko-tokonya memiliki papan nama, jadi tidak mungkin kau salah masuk toko. Lagipula, meskipun jalannya berkelok-kelok tetap saja jalan besar itu cuma satu arah. Satu-satunya percabangan hanya menuju ke Knockturn Alley, dan itupun berpapan nama. Jadi, bodoh sekali kalau kau tersesat," ujar Arianne dalam kata-kata cepat namun jelas. Ia telah berhenti untuk 'ikut campur' dalam urusan 'kelompok' itu. Hatinya merutuk, namun ia tak bisa menghentikan dirinya sendiri untuk melakukan tindakan bodoh itu.
Matanya memandang gadis itu dengan pandangan biasa, meskipun sebenarnya menilai. Sepertinya gadis ini orang yang sok? Entahlah. Arianne mengusap dahinya pelan, menyingkirkan poninya yang agak mengganggu.
***
"Cómo? No entiendo. Hablas Ingles? Hablas Español?""Ah, no? No importa... Está bien. No me importa por tú."Gadis sok tahu yang membawa-bawa pena bulu pink -Arianne baru menyadari bahwa warnanya pink- menimpali kata-kata si gadis pirang, kemudian melanjutkan kata-katanya menimpali kata-kata Arianne.
"Nona berpengetahuan luas," kata Friday tenang sambil melipat tangannya di depan dada. "Memang ada beberapa anak bodoh yang pernah tersesat di Diagon Alley, kalau kau mau tahu. Aku bukan termasuk diantara mereka dan kuharap dengan sepenuh hati kau juga tidak begitu. Aku hanya memperingatkan mereka yang belum pernah pergi kesana, itu saja. Bukankah aku sungguh anak yang baik?"Gadis itu melipat tangannya di depan dada dan tersenyum, namun Arianne tahu bahwa itu... palsu. Arianne benci senyum palsu. Matanya mengatakan lain. Arianne berdecak sedikit dan berkata sambil menyilang tangan di depan dada juga, "Dan juga bukan aku, aku takkan tersesat bahkan dalam kunjungan pertamaku."
Baik, hmmph, seperti aku tak tahu maksudmu saja! gerutunya dalam hati, masih memandangi gadis berpena bulu pink itu dengan lirikan sebal.
"God etter middag , Frk. Kanskje JEG sitte her over?" sapa Rigel pada gadis itu ramah, tak lupa senyumannya. Rigel mengedikkan kepalanya sedikit pada anak-anak lainnya, dan mengulangi sapaannya dalam Bahasa Inggris. "Halo. Keberatan kalau aku ikut duduk?" katanya.Arianne mengangkat alisnya, amat sedikit. Seorang anak laki-laki pirang menghampiri mereka dan berucap kata-kata aneh, kemudian disusul dengan mengucapkan permintaan untuk ikut duduk. Sepertinya itu adalah terjemahan dari kata-kata anehnya? Arianne membiarkan anak itu melakukan apapun yang disukainya, salah satunya karena ia tak mau terlihat bodoh karena menanggapi dengan salah kata-kata anak itu, hal lainnya karena apa yang dilakukan anak laki-laki nitu bukanlah urusannya.
"Waarom jullie spraken niet Engels?"Datang lagi seorang anak perempuan, mengatakan bahasa asing lagi, dan ia membawa seekor..... kadal? Eh, bukan, iguana, yeah... Arianne pernah melihat gambarnya di salah satu buku tebal milik Maurice, saat Arianne mengintip dan membaca-baca buku di raknya karena penasaran.
"Callate!" balasnya sedikit kesal. "Hablar Ingles. Entiendes?""Bi-ca-ra," katanya perlahan, memisahkan antar suku kata agar anak itu mengerti. "Ba-ha-sa Ing-gris. Me-nger-ti?"Gadis itu... Akhirnya mengatakan sesuatu yang masuk akan dan benar. Untuk sesaat pupil mata Arianne melebar karenanya. Kemudian seulas senyum samar muncul di bibirnya, sedikit senang karena akhirnya ada sedikit persamaan dengan gadis berpena bulu-pink itu. Keinginan meluruskan bahasa. "Benar, ini Inggris," katanya singkat tanpa nada yang tidak perlu.
"O , Parece venimos desde diferente país does no él?"Bahasa asing lagi. Oh ya ampun, tak bisakah mereka bicara dengan bahasa 'normal'? Kemudian gadis berwajah Latin (buku Maurice lagi. Oh ya ampun, benar-benar berguna rupanya membaca semua buku-buku anehnya!) melanjutkan kata-katanya.
"Ternyata penyihir itu berasal dari semua negara yah. Aku malah menyangka penyihir itu berasal dari bulan, terutama nenek sihir yang cekikikan dan siluetnya menutupi sinar bulan. Ternyata penyihir hanya berasal dari masing-masing negara. Bukankah begitu?"Arianne hampir saja -cuma hampir, tapi belum- memutar bola matanya mendengar kata-kata bodoh penuh khayalan gadis itu. Penyihir dari bulan? Yang benar saja! Tapi tak baik mengomentari kata-kata orang lain yang tak bertujuan menyakitimu. Gadis itu langsung menoleh setelah berkata-kata, yang arah pandangannya diikuti Arianne. Arianne melihat seorang gadis menjatuhkan es krimnya. Usia mereka mungkin tak jauh berbeda.
"Ohhh... di mana aku bisa membeli es krim Nona? Apakah itu Es Krim sihir? Apa yang terjadi jika kau meminum itu?" tanya Cassandra yang sekarang menatap gadis itu dengan seksama, "Ooohhh... matamu sedikit basah, Nona. Apakah es krim sihir akan memberikanmu air mata peri?" tanya Cassandra masih menatap gadis kecil itu, dengan seksama.Gadis ini... gila ya? tanyanya capek dalam hati. Tapi sebagian kecil otaknya memberitahu, para penyihir itu eksentrik, dan memang banyak hal tak masuk akal di dunia sihir.
Gadis pirang yang datang sebelum Arianne, akhirnya bicara juga, dan Arianne tak heran kalau kata-katanya tidak menyenangkan. Sepertinya ia tak mengerti apa yang dikatakan anak-anak ini, karena rona mukanya memerah dan ekspresi wajahnya menunjukkan itu. Bodoh sekali menunjukkan kelemahanmu di hadapan orang lain seperti itu.
"Walaupun kita berasal dari negara yang berbeda... kurasa aku berbeda jauh dari kalian. Kalian orang rendahan, sementara aku.. bangsawan."Bangsawan murahan, tukas Arianne tanpa pikir panjang dalam hatinya. Ia tak biasa mengucapkan langsung semua yang ada di pikirannya, semuanya selalu penuh pertimbangan. Tapi untuk yang ini, Arianne sebenarnya sama sekali tak keberatan mengucapkannya. Memang benar, bangsawan murahan. Kalau kau bangsawan, maka kuasai bahasa sebanyak mungkin, dan jangan menunjukkan ekspresi lemah di hadapan lawan bicaramu! Arianne memang tidak mengerti sedikitpun kata-kata asing yang diucapkan anak-anak itu, tapi itu karena Arianne menolak mempelajarinya. Kini ia agak menyesal dengan keputusannya waktu itu. Arianne sudah akan mengulangi kata-kata non-verbalnya tadi ke anak perempuan pirang itu, tapi sebuah suara menghentikannya.
"Kalian--kalian mengapa tidak menggunakan bahasa internasional? Bahasa Inggris?" Tanyanya, lalu senyuman dingin muncul di bibirnya.Seorang anak laki-laki, membawa selembar perkamen bertulisan aneh, tapi cuma dipandang sekilas oleh Arianne, bertanya tentang kenapa mereka tidak menggunakan bahasa Inggris. Arianne hanya bisa mengangkat bahu untuk menjawabnya.
***
Si anak perempuan pirang yang ada di antara mereka -bukan anak perempuan pirang yang sok bangsawan itu- tersenyum pada Arianne. Arianne tak menanggapinya, meski ia menganggap sepertinya senyum itu senyum yang tulus.
"Tak ada alasan khusus. Hanya iseng, karena Nona itu bicara Bahasa Norwegia," jawab Rigel sekenanya, masih tetap memberikan senyumannya.Si anak laki-laki pirang bicara lagi, menanggapi kata-kata si nona pembawa iguana. Hooh, bukannya untuk pamer, eh? Kilat tak percaya melintas di mata Arianne, namun ia tak bicara sepatah katapun. Dan anak laki-laki itu berkata-kata menjawab situasi-situasi yang disodorkan di hadapannya, mulai dari si gadis yang menjatuhkan es krim sampai kata-kata yang dilontarkan di gadis yang mengira penyihir berasal dari bulan.
"Ada apa denganmu, Nona? Tersandung sampai es krim-mu jatuh?" "Kau Pureblood?""Darah-Lumpur,"Arianne semakin menatap tajam si anak laki-laki pirang. Tadi pura-pura baik dan terus-terusan tersenyum pada setiap anak. Tak diragukan lagi itu cuma senyum palsu.
Pendusta, batinnya sinis, dan dua kalimat terakhir semakin meyakinkannya bahwa anak laki-laki itu tidak baik.
Pecinta darah murni, lagi, lanjutnya masih dalam hati. Pasti orang ini sejenis dengan kakek Arianne, menyebalkan. Arianne melirik di gadis yang disebut Darah Lumpur, melihat reaksinya, apakah dia mengerti dengan sebutan itu.
"Maaf saja, Nona, aku hanya berkata sekali dalam bahasa Norwegia. Maafkan aku sudah membuatmu terintimidasi karena kau tidak mengerti bahasa tersebut,""Maaf kalau aku membuatmu marah, Nona. Aku tidak mengira kalau Anda juga bangsawan, sama sepertiku. Penampilan bisa menipu, rupanya," kata Rigel pada gadis itu, sengaja memberikan penekanan pada kata 'juga'. Gadis ini harus tahu, kalau dia bukanlah satu-satunya bangsawan di sini.Anak laki-laki pirang itu menanggapi ucapan angkuh si gadis pirang. Dan menekankan kata 'juga' pada kalimatnya.
Yeah, mereka akan cocok, gadis bangsawan pirang yang angkuh dan pemuda bangsawan pirang pecinta darah murni. Entah kenapa Arianne hari ini terus membatin, sedikit lebih sering dari biasanya. Dan sering bernada sarkastis. Tapi situasi di sekitarnya memang membuatnya melakukan hal itu.
"Bangsawan? Memangnya kenapa? Ternyata statusmu tidak membuatmu lebih pintar atau lebih baik atau lebih apa dariku. Well, bang-sa-wan... ouh! Apa yang harus kulakukan padamu sekarang? Berlutut dan mencium kakimu, eh?"Arianne hampir terlonjak mendengar kata-kata si gadis sok tahu berpena bulu pink. Mulutnya hampir membentuk seringai sekarang, tapi ditahannya. Bisa juga gadis itu berkata-kata berani seperti itu. Ah, tidak, daritadi juga dia berkata-kata 'jujur', meskipun Arianne tetap tidak suka dengan kalimat pertama yang didengarnya di awal. "Mungkin ia memintamu menjilat sepatunya karena dia bangsawan," timpal Arianne sambil menatap sebal ke si gadis pirang, menekankan pada kata bangsawan dengan nada merendahkan. Tangannya masih terlipat di dada.
"Bukan berarti aku tidak bisa Bahasa Inggris. Aku hanya belum terbiasa berbahasa Inggris. Aku baru tiba di negara ini dua hari lalu, pour l'amour de Dieu!"Lengkap sudah. Terbukti. Kini Arianne tahu kenapa sejak tadi ia merasa janggal dan tidak nyaman dengan anak laki-laki ini. Mulai dari senyum palsunya, kata-kata manis menjilatnya, keangkuhannya, dan kecintaannya pada Darah-Murni. "Prancis, pecinta darah murni," desis Arianne dengan nada sebal samar. Anak yang sejenis dengan kakeknya, mereka akan cocok sekali.
"Kau mau ke Diagon Alley?" Arianne menoleh pada si anak yang membawa kertas bertulisan aneh itu, bukan ke gadis berambut hitam yang membawa iguana itu. Ia berusaha tidak berkata ketus, "Mereka sedang unjuk gigi, untuk memberitahukan asal, barangkali. Sebaiknya kau pergi kalau tidak tahan atau tidak mengerti, atau ikut saja dengan gadis yang membawa iguana dan gadis itu ke Diagon Alley," ujar Arianne sambil mengedikkan kepalanya pada gadis berpena bulu pink yang baru saja mengajak anak-anak yang mau mengikutinya. Dan si gadis yang mengira penyihir itu dari bulan... "Kau mungkin lebih baik pergi dengannya juga, daripada jadi salah satu anak bodoh yang tersesat," kata Arianne pada gadis itu. Dan Arianne berbalik untuk melangkah menuju tangga, mengambil perkamennya yang tertinggal di kamar.
4:16 PM
Florean Fortescue’s Ice Cream Parlour v.2 (1974)
Sebuah jalanan besar berkelok-kelok rupanya bisa menjadi salah satu tempat yang menarik. Tentu saja, jalanan besar itu bernama Diagon Alley. Pusat berbelanja bagi penyihir.
Arianne sudah menjelajahi beberapa bagiannya. Beberapa toko yang menjual barang-barang keperluan Hogwartsnya sudah tentu dikunjunginya. beberapa toko lain yang menyediakan barang kebutuhannya meskipun tidak dicantumkan di perkamen Hogwarts -seperti perkamen dan pena bulu- juga tak dilewatkannya. Bahkan toko lelucon dan toko hewan tak luput dari perhatiannya.
Kini Arianne telah kelelahan. Ia berjalan menuju sebuah tempat yang belum dijamahnya. Sebuah toko es krim. Perhentian yang menarik. Makan es krim sambil memikirkan beberapa hal dan mengecek apakah ada yang belum dibelinya, sepertinya merupakan kegiatan yang bagus untuk saat ini. Arianne menemukannya dan berjalan masuk ke dalam toko. Sekilas Arianne menyadari bahwa ia melihat anak laki-laki yang ditemuinya di Leaky Cauldron, bersama seorang wanita yang duduk bersamanya.
Arianne menghampiri counter dan memesan es krim coklat. Dibayarnya es krim itu, dan ia mengambil tempat di salah satu meja kosong. Tak ada gunanya berusaha mengobrol dengan orang lain di saat seperti ini, meskipun Arianne bisa melihat banyak anak yang duduk sendirian. Tapi tentunya merekapun mungkin ingin menikmati es krimnya tanpa gangguan, seperti Arianne yang ingin memakan es krimnya dalam kesendirian.
Tatkala menikmati es krimnya itu, entah kenapa pikirannya tidak mengacu pada hal yang seharusnya diurusnya, misalnya mengenai perlengkapan sekolah yang harus dibelinya. Wajah wanita yang di depan tadi, dengan anak laki-laki Prancis angkuh yang mengaku dirinya bangsawan, malah membayang di benaknya. Wajah wanita itu sebenarnya lumayan cantik, tapi garis-garis kaku dan keangkuhan tetap saja tergores di wajahnya meskipun sedikit. Dan wajah wanita itu seperti seorang Prancis, sedikit banyak mirip dengan anak laki-laki pirang yang semeja dengannya. Mungkin wanita itu ibunya.
Wajah ibu Arianne sama sekali tak bisa diingatnya dengan jelas. Arianne hanya mengenalnya selama lima tahun pertama kehidupannya. Setelah itu Mauricelah yang mengisi hari-harinya. Jika Arianne mencoba mengingat wajah ibunya, yang terlintas hanyalah sosok wanita berambut cokelat panjang ikal yang tinggi dan bergaris wajah lembut, namun itupun tak bisa diingatnya dengan jelas. Rambut ikal, berarti Arianne mendapatkan rambut lurusnya dari ayahnya. Ayahnya yang bertubuh tinggi tegap dan tegas. Ayahnya yang dulu menggendongnya dengan riang, terkadang melemparnya ke udara dengan main-main kemudian menangkapnya lagi, membuatnya tertawa riang. Ayahnya yang pernah membelikan es krim coklat hingga mulutnya belepotan es krim...
Ah, persetan dengan mereka. Mereka tak cukup berharga untuk dipikirkan! Arianne menyendok lagi es krimnya yang mulai mencair.
***
Arianne menyendok es krim coklatnya yang mulai agak meleleh, dan memasukkannya ke mulutnya. Cairan lengket dan manis itu masih terasa dingin di lidah, meskipun ia telah mencair. Arianne mencecapnya perlahan, merasakan rasa coklatnya, karena siapa tahu ini saat terakhirnya makan es krim. Mungkin saja di Hogwarts tidak ada es krim. Sekali lagi Arianne menyendok es krimnya dan menikmatinya. Ia sedikit bersyukur karena kedai es krim ini lumayan tenang, dan menghindarkannya dari panas, membantunya beristirahat sejenak sebelum melanjutkan kegiatan belanjanya. Rambut panjangnya yang dikuncir dua sudah tak lengket lagi karena keringat, helai-helai rambutnya kini telah mampu memperlihatkan reaksi sendiri-sendiri jika terhembus angin. Keringat yang tadinya menempel di dahinya pun telah hilang.
Pada suapan ketujuh, Arianne memasukkan sendok es krim ke mulutnya untuk melihat apakah lalu lalang orang sudah berkurang dan debu jalanan sudah hilang. Saat itulah tertatap olehnya si anak laki-laki pirang menatap sekilas padanya, sebelum kemudian mengalihkan perhatiannya dan berbicara entah apa dengan wanita yang bersamanya. Arianne balik memandangnya galak sebentar dan kembali menekuni es krimnya. Kembali asyik dengan dunianya, hanya dia dan es krim coklat yang pernah belepotan mengotori mulut dan pakaiannya.
Saat Arianne mengangkat kepalanya lagi, entah bagaimana si wanita Prancis dan anak laki-laki pirang sudah masuk ke dalam ruangan itu dan menghampiri beberapa anak yang sepertinya bermasalah dengan es krimnya. Arianne hanya melirik sekilas dengan tak berminat, sebelum kemudian mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ia sudah melihat anak laki-laki itu tersenyum bias, palsu... Senyum yang juga kadang ditampakkan Arianne kalau ia terpaksa berhadapan dengan orang dewasa. Senyum yang hanya digunakan untuk menenangkan hati orang lain, atau menipu mereka. Entah untuk alasan apa anak itu menunjukkan senyum seperti itu. Mungkin untuk alasan yang sama dengan Arianne, atau mungkin untuk alasan yang berbeda sama sekali. Senyum palsu itu menyakitkan... Pemandangan lain akan terasa lebih baik.
DHUARRRR...
Arianne sontak menoleh. Sebuah bom kotoran, entah berapa besar ukurannya, telah diledakkan dalam toko itu. Untung saja letak kursi Arianne cukup jauh dari titik ledakan, sehingga ia tidak terkena. Namun... Es krimnya telah tercemar. Terciprat sebagian kecil dari bom kotoran yang muncrat ke mana-mana. Arianne menatap es krimnya selama beberapa detik, berusaha menyadari apa yang dirasakannya. Marah, sedih, atau hanya kecewakah. Kegeraman barulah merayapi nadinya setelah beberapa saat. Namun belum sempat ia bertindak, terdengar teriakan anak laki-laki pirang yang tadi masuk. Arianne mengenali suaranya tanpa harus melihat orangnya, juga dari bahasa Prancisnya.
" Pour l'amour de Merlin! Siapa orang bodoh yang melemparkan Bom Kotoran di dalam toko?!" seru Rigel marah
Arianne hanya diam di tempatnya, tidak berusaha membenarkan maupun membantah kata-katanya. Meskipun dalam hati ia berkomentar, Terlalu berlebihan! Kasar! Yah, kata hatinya itu benar. Anak laki-laki itu kasar sekali sudah berteriak-teriak membodoh-bodohi orang lain. Tapi suara hatinya yang lain memberitahunya, Kau juga akan melakukan hal yang sama kalau tadi dia tidak berteriak begitu. Ah, itu juga benar. Arianne akan berteriak kesal, atau paling tidak segera mencari sumber keributan sebelum membereskan si pembuat kekacauan.
"Siapa orang bodoh yang sudah mengacau ini? Tak akan kuampuni!" Madame Noir berseru kesal.
"Anak bodoh! Kau pasti hanya Darah-Lumpur pengacau yang tidak tahu apa-apa dan hanya mengotori Dunia Sihir! Tindakanmu barusan sudah merugikan toko ini! Kemana otakmu?! Kau layak mendapat hukuman!" Madame Noir membentak anak itu.
Kini wanita yang berjongkok berlindung itu yang berteriak-teriak. Arianne menatapnya dengan pandangan mencela. Karena wanita itu bersama si anak laki-laki pirang yang mengaku bangsawan, maka bukankah wanita itu seharusnya bangsawan? Jadi begitukah kelakuan seorang bangsawan kalau terkena masalah? Menyumpah-nyumpah dalam memaki-maki dengan wajah murka yang mengerikan? Arianne tak menyangkal, wajah murkanya mengerikan sekali. Dan makiannya berikutnya membuat Arianne semakin merasa bahwa wanita itu mengerikan sekaligus setipe dengan kakeknya. Darah Lumpur. Yah, sebutan itu meluncur keluar lagi. Sebutkan penghinaan bagi orang yang dilahirkan dari orang non penyihir. kata-kata itu cukup untuk membuat Arianne memalingkan wajahnya dan tidak menghiraukan keributan besar dan teriakan apapun yang mungkin terjadi di tempat itu.
Wanita itu menyebalkan! Jadi benar kan, tindakan Arianne untuk membenci semua orang Prancis? Mereka semua memiliki sifat dasar yang sama. Angkuh dan arogan. Suka memaki-maki dengan kata-kata sangat kasar. Terutama para bangsawan menyebalkan itu, berpura-pura bersikap anggun dan terhormat, padahal mulut mereka sering mengeluarkan makian. Hanya untuk masalah sepele dan tidak masuk akal. Berlebihan. Pemilih namun menggunakan cara yang tak rasional. Walau mungkin untuk masalah yang tadi memang benar anak perempuan berambut coklat tua pendek itu yang salah. Arianne juga akan membentaknya dengan keras jika orang-orang Prancis itu tidak ada. Arianne akan memarahinya tanpa segan seperti anak-anak Amerika yang ada di lingkungan rumahnya untuk membuatnya jera, karena Arianne hampir tak pernah menggunakan kata-kata itu kecuali untuk hal-hal yang membuatnya super sebal. Ehh...... Arianne bimbang sesaat. Jadi, sebenarnya aku benar atau tidak?
Bau mengerikan menyadarkannya bahwa bekas-bekas insiden yang baru saja terjadi masih ada. Si anak laki-laki dan wanita Prancis itu sudah tidak ada. Arianne juga sudah tidak betah di sini. Didorongnya gelas es krimnya dan Arianne segera meraih tas belanjaannya, bergegas pergi dari tempat yang berantakan ini untuk berbelanja lagi, sebelum hari menjadi terlalu sore.
3:54 PM
Quality Quidditch Supplies
Arianne menyusuri jalan berkelok-kelok itu sekali lagi, di hari terakhirnya sebelum pergi ke King's Cross. Stasiun itu adalah tempat pemberangkatan para siswa Hogwarts menuju ke kastil tempat mereka akan tinggal selama tujuh tahun ajaran. Sebuah kereta bernama Hogwarts Ekspresslah yang akan membawa mereka semua menuju sebuah tempat terpencil di mana Muggle tidak bisa menemukannya apalagi menjamahnya. Arianne sedikit menyukai tempat ajaib ini, karenanya ia memutuskan berjalan-jalan untuk mengetahui lebih detil sudut-sudut tempat ini.
Ia melewati toko-toko yang pernah dikunjunginya, melihat beberapa etalase luar toko-toko yang menurutmua menarik perhatian, atau kadang masuk ke dalam toko yang terlihat ramai, untuk mengatahui apa yang orang-orang lihat di toko itu. Arianne tidak terburu-buru, ia berjalan santai saja dan tidak berusaha mendesak orang-orang jika mereka berkerumun. Ia tidak ingin mandi keringat dalam hari seperti ini. Ia baru saja mandi dan tak ingin rambutnya rusak dan kusut hanya karena hal sepele.
Sampai kemudian ia tiba di sebuah tempat ang belum dikunjunginya. Pada displaynya ia melihat sebuah sapu dipajang. Arianne melihatnya dengan tertarik. Ia sudah membawa sebuah buku tua tentang sapu, tentu saja milik Maurice, dan menyenangkan sekali gambaran mengenai terbang yang ia baca. Padahal Arianne tidak terlalu suka pada ketinggian. Tapi membayangkan rambutnya akan berterbangan disibak angin, suara gemuruh yang mampir di telinganya tatkala ia terbang dalam kecepatan tinggi, sungguh mendebarkan. Arianne mendorong pintu toko itu dan masuk dengan tamparng agak penasaran.
Isi toko itu lumayan lengkap rupanya. Selain sapu, ada juga peralatan Quidditch. Arianne mengingat sekilas nama toko itu. Peralatan Quidditch berkualitas. Tentu saja, bodoh. Quidditch nampaknya olahraga yang menyenangkan juga. Nampak seperti basket, namun dengan tiga keranjang dan dua pemain tambahan. Dan mainnya naik sapu terbang. Arianne hanya bisa membacanya saja, namun belumn pernah memainkannya. Tidak menyenangkan kalau cuma membaca. Jadi, akhirnya Arianne memutuskan untuk melihat-lihat, hingga beberapa saat kemudian ia mendengar gumaman seseorang.
"Yang mana yang cocok untukku..?"Arianne menoleh, dan melihat seorang anak laki-laki berkulit hitam yang memakai topi sedang melihat-lihat sapu juga sepertinya, namun di sisi yang tidak sama dengan Arianne. Melihatnya, membuat Arianne teringat pada salah satu tetangganya, Mark. Mark adalah keturunan negro sehingga kulitnya hitam. Anak itu pintar sekali olahraga, terutama basket dan baseball. Arianne kadang diajaknya bermain, meskipun terkadang Arianne menolak, jika Arianne mengetahui akan ada yang menonton permainan mereka.
Jika sepi-sepi saja, maka Arianne dan anak-anak laki-laki di area itu akan menyerbu lapangan dan mulai bermain, entah baseball atau basket. Arianne sendiri sebenarnya tidak terlalu mahir untuk urusan begini, tapi ia menyukainya, bermain dengan anak laki-laki di lingkungan tempat tinggalnya. Anak-anak laki-laki itu juga tidak keberatan dengan kehadiran Arianne meskipun terkadang Arianne malah mengacaukan permainan mereka karena memukul ke arah yang salah atau malah melempar bola basket ke salah seorang dari mereka. Mungkin hal itu karena Arianne tidak rese seperti anak perempuan lain di area itu. Tidak, ia tidak lagi suka bermain boneka atau rumah-rumahan seperti anak perempuan manja pada umumnya.
Arianne kembali memperhatikan anak itu. Ahh, sepertinya tidak mirip Mark. Mark kulitnya lebih legam dan badannya bahkan lebih besar. Tapi entah mereka seusia atau tidak. Bisa saja Mark lebih tua daripada anak hitam itu. Lalu anak ini juga mengenakan kacamata. Mark tidak. Arianne mendekati anak itu akhirnya, karena rasa penasaran lebih tepatnya.
"Kurasa Panah Perak sapu yang paling keren," kata Arianne menimpali kata-kata anak itu sambil mendekatinya. Arianne berbicara dengan cara yang digunakannya kalau menghadapi anak laki-laki yang ada di lingkungan rumahnya. Sepertinya mereka setipe. "Tapi entah di toko ini ada atau tidak. Sepupuku juga punya Panah Perak, tapi tahun lalu dia mengirimnya balik ke rumah orangtuanya karena takut ketahuan Muggle dekat rumah kami. Tapi aku pernah melihatnya terbang sekali, benar-benar keren dan luwes," kata Arianne akhirnya panjang lebar. Heran, biasanya ia hanya bicara beberapa patah kata dengan orang lain, dan itupun tak lepas dari nada sinis atau tekanan topengnya. Tapi sekarang ia bicara bagaikan bicara pada Mark dan Will saja.
"Kalau tidak ada, Nimbus 1970 juga oke. Sapu itu tidak terlalu mahal untuk ukuran sapu bagus, dan tidak kalah jauh dengan sapu model terbaru sekalipun," tambah Arianne sambil memperhatikan sapu di depannya.
***
"Kau anak tahun pertama, ya? Aku tak pernah melihatmu sebelumnya..," ujar Yusuke pada anak itu, "..dan terima kasih atas saranmu. Mengenai Panah Perak, toko ini menjualnya, barusan aku melihat daftar harganya. Tapi kalau yang cepat dan lincah untuk Quidditch, menurutmu yang mana? Panah Perak atau Nimbus 1970? Ketika memakai sapu di sekolah aku merasa kurang nyaman, mengingat sapu Hogwarts sudah mulai butut, tapi sapu yang kupakai waktu itu kalau tak salah merknya adalah Sapu Bersih," kata Yusuke panjang lebar sambil menatap etalase lagi.Arianne menoleh sedikit mendengar si anak laki-laki itu membalas perkataannya. Tadi Arianne sempat melihat anak itu melepas kacamatanya dan mengelapnya dengan T-shirtnya. Wah, susah ya menjadi orang dengan mata minus atau plus. Harus sering-sering mengelap kacamata yang dikenakan. Belum lagi kalau hujan, pasti kebasahan kalau tak dilepas, atau bisa jadi berembun. Padahal melepas kacamata itu membuat pusing, apalagi jika minus atau plusnya besar. Atau kalau kepanasan, kacamatamu bisa melorot turun dari hidungmu akibat keringat. Dan entah teknologi apa yang bisa menyembuhkan mata seperti itu. Tidak, Arianne bukan membacanya dari buku. Ia hanya sering melihat salah satu teman sekolahnya, Edward yang culun, sering bolak-balik menaikkan kacamatanya kalau hari panas.
Kenapa ia jadi malah memikirkan hal seperti itu? Arianne mencoba untuk memfokuskan lagi pikirannya pada pertanyaan anak itu.
Apa katanya tadi? Sapu yang cepat dan lincah untuk Quidditch? tanyanya dalam hati. Yeah, itu. Arianne sekarang tersenyum samar. Terlihat jelas sekarang bahwa anak itu berbeda dengan Mark. Mark tidak mungkin menanyakan sepeda yang cepat dan lincah, atau pemukul yang kuat dan handal. Yang akan dikatakannya justru, "Sepeda itu keren tidak?" kemudian disusul suara tawa khas Mark dan tonjokan main-main di bahu Arianne atau tangan yang menarik topi Arianne hingga menutupi wajahnya. Tapi sepertinya hobinya kurang lebih sama dengan Mark, berarti mereka setipe, dan orang yang setipe dengan Mark mungkin bisa berkomunikasi dengan baik dengan Arianne.
"Umm... kau main Quidditch ya? Panah Perak keseimbangannya bagus dan bisa membelok dengan bagus, tapi Nimbus lebih cepat. Tergantung kau lebih mengutamakan yang mana, dan kau main di posisi apa," kata Arianne sambil berpikir-pikir, dan memandangi sapu lagi. Rasanya menggelikan, berdiri di depan etalase sapu dan mengobrol tapi tidak saling pandang. Tidak sopan memang, tapi sepertinya ini lebih baik. "Aku tidak suka Sapu Bersih," tambah Arianne lagi, namun tidak mengutarakan alasannya.
Benak Arianne mengatakan bahwa ada yang dilewatkannya tadi. Ia bergegas mencari-cari dalam file otaknya. Memang sepertinya ada yang dikatakan anak itu sebelum meminta pendapatnya mengenai sapu, tapi apa ya? Selintas potongan-potongan percakapan lewat di benaknya.
Kau anak tahun pertama, ya? Aku tak pernah melihatmu sebelumnya..Ketika memakai sapu di sekolah aku merasa kurang nyaman, mengingat sapu Hogwarts sudah mulai butut,Jadi dia murid Hogwarts? batinnya bertanya. Arianne menoleh dan akhirnya tersenyum sambil agak mendongak menatap si anak laki-laki di sebelahnya. "Aku baru mau masuk. Arianne Ravell," ujarnya, kemudian memiringkan kepalanya sedikit sebelum balik bertanya, "namamu siapa?"
***
Si anak laki-laki hitam mengatakan bahwa dia main Quidditch dan masuk tim namun tak yakin bisa masuk tim inti karena kakak kelasnya jauh lebih hebat-hebat. Ia juga mengutarakan bahwa dia berposisi beater tapi karena dia cadangan maka mau tak mau harus mau ditempatkan di mana saja. Dan katanya ia juga tak menyukai Sapu Bersih yang kurang lincah. Anak itu akhirnya nyengir lebar sambil menyebutkan namanya, Yusuke Sawada. Dan ia adalah murid tahun kedua.
Arianne mengernyitkan dahi sedikit mendengar kata-kata anak itu, terutama setelah mendengar namanya yang aneh. "Sawada, rite. Kalau begitu jadi beater saja. Harus sesuai bakat dan kesukaanmu. Kalau tidak suka tak perlu main. Dan jangan minder begitu. Biar saja kau tak mahir, yang penting kau senang. Main Quidditch harusnya menyenangkan, ya kan? Aku juga tak mahir main basket dan baseball, tapi aku tetap main." Arianne teringat soal Sapu Bersih tadi. "Bukan, bukan, bukan karena itu," ujarnya sambil tergelak, "sapu bersih berarti," Arianne menggerakkan jarinya membuat gerakan memotong lehernya sendiri, "habisi! Mengerti?" katanya sambil tertawa lagi.
Sawada mengatakan bahwa ia akan beli Nimbus saja, juga soal Arianne yang tahu banyak soal sapu dan bertanya apakah Arianne tak berminat membeli sapu. Lalu sambil nyengir lagi ia menyarankan Arianne untuk menitipkan sapunya pada keluarganya kalau mau beli sapu.
Arianne menggeleng cepat saat ditanya soal sapu itu. Ia tahu bahwa anak kelas satu tak boleh membawa sapu terbang ke Hogwarts. Entah untuk apa peraturan itu dibuat. Menurut Arianne tak ada gunanya, mereka toh belajar terbang juga di Hogwarts. Tapi apa boleh buat... Raut wajah Arianne mengeras sesaat ketika Sawada mengungkit soal keluarga. "Tidak, aku takkan beli sapu."
Aku tak punya keluarga, sambungnya dalam hati. "Nanti aku pinjam punyamu saja deh ya. Dan err... Kalau kau nyengir terus kau jadi seperti orang sakit gigi," tambah Arianne sambil tertawa lagi.
3:48 PM
Flourish and Blott's Bookstore
Arianne melangkah riang di sepanjang jalanan berkelok itu. Hari semakin siang, namun energinya malah bagaikan bertambah. Mana lagi ternyata mengunjungi toko-toko di Diagon Alley ternyata menyenangkan. Ada goblin yang melayani di bank sihir, menyerahkan kepingan emas yang bergemerincing pada Arianne; ada seorang kakek tua yang bisa bertampang menyeramkan sekaligus ramah pada saat yang bersamaan, memberinya tongkat sepanjang dua puluh enam senti dari kayu Hazel berwarna hitam, berintikan bulu ekor Phoenix Irlandia, atau dikenal juga dengan nama Augurey, menurut buku Fantastic Beast yang pernah Arianne baca dengan iseng di ruang kerja Maurice.
Meskipun, yah... Ada kejadian mengesalkan juga di toko jubah yang baru saja dikunjunginya. Penjualnya merepotkan, genit. Arianne punya perasaan bahwa wanita yang dilihatnya duduk diam di sanalah yang sebenarnya seharusnya melayani, tapi karena suatu alasan yang tidak Arianne mengerti, wanita muda itu hanya duduk diam dan memperhatikan. Tapi perasaan sebal itu dengan segera berlalu. Sekarang Arianne sedang menuju ke Toko Buku, dan menurut Maurice, bernama Flourish and Blott's.
Sekilas ia berpapasan dengan seorang wanita muda berpotongan rambut pendek yang keluar dari toko itu dan wanita muda lainnya. Tapi Arianne tak ambil pusing, dan segera masuk ke toko itu. Ia disambut dengan pemandangan bertumpuk buku di sana-sini, dan beberapa anak sedang mengajukan pesanannya. Matanya melebar melihat buku-buku itu, namun dengan segera Arianne mengingatkan dirinya untuk menahan diri, ia masih harus mengunjungi toko-toko lainnya.
Jadi Arianne berjalan mendekati anak laki-laki yang sepertinya menjaga toko itu, dan mengajukan perkamennya yang berisi daftar buku-bukunya. Ia tak mau repot-repot mendiktekan muku apa saja yang harus dibelinya. Tulisan ini sudah cukup, kecuali kalau si penjual itu tidak bisa membaca. "Aku beli buku-buku ini," ujarnya singkat.
***
Antrian pembeli akhirnya memendek, dan Arianne akhirnya sampai di depan si penjaga toko yang kentara sekali terlihat repot. Toko buku ini memang ramai, padahal sepertinya tidak ada penandatanganan autobiografi atau semacamnya. Arianne sudah menyerahkan perkamennya dan akhirnya si penjaga toko bergegas mengambilkan pesanannya.
Dua puluh lima galleon. Itulah harga untuk satu set buku untuk anak kelas satu. Arianne merogoh kantong uangnya yang bergemerincing dan menyerahkan galleon sejumlah yang diminta. Buku-buku itu ia masukkan ke dalam kantong plastik agar mudah membawanya dan Arianne berlalu dari depan antrian.
Buku, sudah. Jubah, sudah. Tongkat, sudah. Arianne melirik daftar belanjaannya. Ia harus mengunjungi toko ramuan sepertinya. Karena ia belum membeli dan bahan-bahan ramuan yang diperlukannya. Yak, sudah ditetapkan, perhentian selanjutnya adalah toko Ramuan! Arianne melangkahkan kakinya keluar, ke bawah terik matahari lagi.
3:43 PM
Madam Malkin's Robes
Tongkat sudah didapat. Galleonnya masih bergemerincing dalam sakunya. Arianne telah membuka kotak tongkatnya dan memasukkan tongkatnya ke dalam saku jeansnya, siapa tahu diperlukan (meskipun ia sebenarnya belum bisa menyihir sekehendaknya sama sekali) tapi bisa jadi itu diperlukan, paling tidak untuk menggertak, barangkali. Kotak tongkatnya sendiri telah ia jinjing di tangan kirinya, sementara telapak tangan kanannya masih tersembunyi dalam saku jaketnya.
Ia berjalan santai saja, agak berirama malahan, sehingga rambutnya yang diikat dua bergoyang-goyang sedikit, rambut panjangnya melanbai-lambai dan bergerak mengikuti gerakannya atau arah angin. Tujuannya telah jelas, ia telah merencanakan semuanya dengan baik. Tujuan berikut setelah toko tongkat adalah toko jubah. Arianne memerlukan jubah sihir hitam sebagai seragamnya, sebagaimana yang tertulis di perkamen suratnya, juga atribut seragam lainnya.
Kini ia berdiri di depan toko jubah yang dimaksud. Toko Jubah Madam Malkin. Sebagaimana yang terlihat dari kaca jendela toko, telah ada beberapa anak di sana. Beberapa bahkan terlihat telah saling kenal. Arianne mengangkat bahu sedikit dengan barang-barangnya masih di tangan kiri dan tangan kanan masih di saku jaket, gerakannya tidak kentara. Ia tak terlalu peduli dengan pertemanan yang terjalin karena asal sapa seperti yang dilihatnya di Leaky Cauldron itu. Sok kenal! Kecuali jika sudah terbukti bahwa anak-anak itu memang teman yang baik. Teman yang menemanimu saat senang maupun susah, bukannya malah meninggalkanmu saat bagian yang tidak enak. Dan bukan teman yang memilih teman atas dasar hal tak jelas seperti status darah...
Ia melangkah maju. Didorongnya pintu toko dengan tangan kanannya yang bebas, yang sudah dikeluarkannya dari sakunya, dan masuklah ia ke dalam toko itu. Dilihatnya seorang anak perempuan yang sepertinya hanya sedikit lebih tua darinya tengah berbicara pada beberapa anak yang lebih muda.
Masa dia juga anak pemilik toko? batin Arianne merasa aneh. Sekilas dilihatnya juga seorang perempuan muda tengah duduk memperhatikan anak perempuan itu.
Tak mungkin perempuan itu ibunya. Terlalu muda, lagipula anak itu wajahnya amat berbeda dengan wanita muda itu. Wanita muda itu terlihat.... lebih ramah dan lembut, sambungnya, masih dalam hati. Tapi sepertinya wanita muda itu tak mau melayani, dengan suatu alasan. Karenanya, Arianne tak punya pilihan, ia mendekati anak perempuan pirang itu.
"Hei, satu paket khusus," kata Arianne saat mendekat pada gadis itu. Tanpa basa-basi tak penting, toh umur mereka sepertinya tidak jauh, lagipula ia tak butuh berbasa-basi. Ia cuma mau beli jubah. Paket khusus, seperti yang dilihatnya di daftar harga, berisi semua yang diperlukan anak kelas satu. Itu saja yang dipilihnya.
***
Clara menoleh, seorang anak berwajah Asia lagi. Ia mengambil satu paket jubah dan langsung memberikannya kepada anak Asia itu."Oke, nona! Jangan membuat ulah, apalagi keonaran!", ujarnya menggurui. Clara masih terbawa suasana waktu mengetahui ada kembang api. Sekarang ia sama sekali tak cekikikan lagi."Wait! Namamu..! Aku belum tahu namamu!"Arianne mengernyitkan dahinya sedikit mendengar kata-kata menggurui si gadis yang daritadi memandang ke cermin di dekat situ. Membuat keonaran? Seenaknya sekali gadis itu bicara. "Apa maksud kata-katamu? Aku sama sekali tak berniat membuat ulah. Dengan apa?" katanya dengan nada agak sebal. Tapi tetap saja wajahnya tak dibiarkannya berekspresi.
"Arianne Ravell," kata Arianne, singkat saja kali ini, menyebutkan namanya yang ditanyakan oleh si gadis pirang yang sepertinya bukan anak penjaga toko itu. Arianne mengetuk-ngetukkan kakinya menunggu pesanannya datang. Matanya memperhatikan seisi toko yang kini ramai dengan orang. Juga seorang anak perempuan yang sepertinya juga bekerja di situ. Yang ini rambutnya hitam, dan tak banyak bicara seperti gadis yang satu lagi. Kenapa tadi Arianne tak minta dilayani olehnya saja? Oh, sudah terlanjur... sudahlah.
Peralatan jahit bergerak seiring gadis berambut hitam itu menginginkannya. Apakah dia sudah diperbolehkan menggunakan sihir di luar sekolah? Ah, sepertinya tidak. Wanita muda di pojok itu sepertinya diam-diam menggerakkan tongkat sihirnya, pasti dia yang melakukan sihir itu.
***
Si gadis pesolek itu memandang Arianne dengan tatapan aneh. Well, siapa takut. Arianne pun bisa memandangnya dengan tatapan tak kalah sangsi. Menyangsikan kemampuannya dalam bekerja. Dan mengangsikan kemampuannya dalam berbicara jelas. Dari tadi saja maksudnya tidak jelas. Dasar.
"Oke, namamu..? Ah! Arianne Ravell! Oke, itu dia..", ucap Clara sambil menuliskan nama anak itu."135 Galleon! Kau sudah dilayani Clara Fein Flitchley dengan baik, Ravell fu..fu..fu..!", ucap Clara sambil tertawa cekikikan.Arianne hanya mengulurkan tangannya untuk mengambil belanjaannya, di tanga yang berbeda dengan kantong tongkatnya, dan mengangsurkan uangnya sebanyak yang diminta, 135 galleon. Arianne tentu saja sudah menghitung uangnya dengan cermat. Ia tak ingin rugi sedikitpun, apalagi di tangan gadis seperti ini, yang tawa cekikikannya seperti banshee. Setelah keperluannya selesai, Arianne segera melengos pergi, tak ingin berurusan banyak dengan gadis ini lagi.
Clara Fein Flitchey? Siapa yang butuh tahu namamu? batinnya cuek.
3:37 PM
Ollivander's Wand
Sinar matahari Inggris rupanya berbeda dengan di Amerika. Entah mengapa Arianne merasa bahwa di sini lebih hangat. Tapi ia tak mengeluh atau berseru senang, perasaan itu hanya disimpannya dalam hatinya, karena kini dirinya berkonsentrasi untuk mencari toko tujuan pertamanya. Toko tongkat. Ia sendiri tak sabar ingin segera mendapatkan tongkatnya, ingin mengetahui tongkat seperti apa yang ditakdirkan untuknya. Yang cocok dan mengerti dirinya. Sepertinya akan sulit untuk menemukannya.
Arianne sampai di depan sebuah toko tua yang papan namanya telah terkelupas lapisan emasnya. Menunjukkan bahwa toko itu sudah lama ada dan antik, sesuai pengumuman di bawah namanya, sudah ada sejak tahun 382 sebelum masehi. Di salah satu etalasenya tergeletak sebatang tongkat berdebu di atas sebuah bantalan, memperkuat dugaan itu.
Pintu berkeriut tatkala Arianne memasuki toko. telah ada beberapa orang di sana, menunggu tongkatnya dipilihkan oleh sang penjual. Di sebuah papan, tercantum tongkat-tongkat yang mungkin cocok dengan tanggal lahirmu. Arianne membacanya sekilas, sambil menunggu gilirannya dilayani oleh Mr. Ollivander, pria yang ternyata sudah amat tua, berwajah menakutkan sekaligus ramah. Mengherankan sekali seseorang bisa seperti itu.
Desember 24 - Januari 20 = Birch (Beth)
Januari 21 - Februari 17 = Rowan (Luis)
Februari 18 - Maret 17 = Ash (Nion)
Maret 18 - April 14 = Alder (Fearn)
April 15 - Mei 12 = Willow (Saille)
Mei 13 - Juni 9 = Hawthorn (Huath)
Juni 10 - Juli 7 = Oak (Duir)
Juli 8 - Agustus 4 = Holly (Tinne)
Augustus 5 - September 1 = Hazel (Coll)
September 2 - September 29 = Vine (Muin)
September 30 - Oktober 27 = Ivy (Gort)
Oktober 28 - November 24 = Reed (Ngetal)
November 25 - Desember 23 = Elder (Ruis)
Rupanya tongkat juga bisa diprediksi lewat tanggal lahir? Kalau begitu tongkatku... Vine? ujarnya bertanya-tanya dalam hati, mengabaikan hiruk-pikuk orang-orang yang berada di sana dan sedang dipilih tongkatnya. Beberapa mulai mencoba dan meledakkan beberapa benda atau menghancurkan beberapa gelas kaca. Arianne, meskipun terkejut, berusaha membuat wajahnya setenang mungkin. Ia tak suka sesuatu berada di luar kendalinya atau ia terlihat tak berdaya.
Akhirnya giliran Arianne tiba. Ia mendekat pada orang tua itu, dan bertanya samar, "Bisakah kau pilihkan tongkat untukku? Tangan pemegang tongkatku yang kanan." Arianne mengulurkan tangan kanannya, menunggu apa yang akan dilakukan orang tua itu. Ia tahu mengenai tongkat dan tangan-pemegang-tongkat -Maurice pernah menceritakannya, dan Arianne juga pernah membacanya dari buku yang diberikan Maurice- tapi ia tidak tahu apa yang akan dilakukan laki-laki tua itu untuk memilihkan tongkatnya. Sepertinya sih hanya dengan mengayunkan tongkat-tongkat untuk menghancurkan benda atau semacamnya.
***
"Oh tentu bisa. Kau cocok dengan tongkat manapun. Kupilihkan untumu tongkat Elder dengan inti naga Norwegia. 29 cm, 10 galleon 2 knut saja," ucap Ollivander tersenyum manis pada gadis yang sepertinya pernah ia lihat itu.Arianne mengernyitkan dahinya mendengar kata-kata orangtua itu, yang bahkan sekarang -oh ya ampun, dia benar-benar orang aneh...- tersenyum ramah tapi mengerikan, wajahnya yang keriput makin runyam saling tumpuk karena ia tersenyum -atau menyeringai seperti nenek sihir jahat, entah yang mana, bagi Arianne sama saja. Arianne menggaruk sedikit kepalanya, membuat satu-dua helai rambut mencuat, kemudian menerima tongkatnya dengan bingung.
Apa tidak salah? Bukannya aku harusnya mendapat tongkat sihir dari kayu Vine? Ulangtahunku kan tanggal 14 September, ujarnya dalam hati. "Err... Sir, apakah Anda tidak akan mengukur tangan pemegang tongkat saya dulu atau semacamnya?" tanyanya dengan nada agak sangsi, namun setelahnya Arianne tetap mengayunkan tongkatnya, yang menimbulkan efek tak menyenangkan.
Jam pasir terdekat yang berada pada arah fokus si tongkat meledak dan menghamburkan pasirnya ke segala arah. Arianne yang refleks menjauhkan wajahnya dan menutup matanya tetap terkena imbasnya. Lengan jaketnya terlumuri pasir kering. Arianne segera mengibas-ngibaskan tangannya hingga pasir-pasir itu berhamburan turun dan lengan jaketnya kembali bersih. "Err... Sir?" tanyanya lagi dengan nada agak merasa bersalah, meski ia berusaha membuat ekspresinya tenang, tak terpengaruh oleh ledakan kecil yang dibuatnya. Toh ini bukan salahnya, ia hanya mengayunkan tongkat saja seperti yang disuruh Maurice, yang katanya adalah cara untuk menentukan tongkat mana yang cocok untukmu.
***
"Perlukah? Ohohoho... kemari! Kuukur tanganmu, anak manis," kata Ollivander sambil mengambil sebuah meteran yang biasa ia pakai untuk membuat tongkatnya. "Tanganmu cukup panjang, dan itu berarti tongkatmu lebih baik tongkat yang tidak begitu panjang. 26 cm cocok. Bagaimana dengan kayu Hazel?" Ollivander menyerahkan sebuah tongkat dengan warna kayu hitam. "Berinti bulu Phoenix Irlandia."Orangtua itu mengukur tangan pemegang tongkatnya, kemudian mengeluarkan beberapa boks pipih panjang -sepertinya untuk anak-anak lain- yang ternyata berisi tongkat aneka rupa, dari kayu aneka macam dan inti aneka jenis. Banyak orang mendapatkan tongkat dengan inti yang umum, namun yang lainnya mendapatkan tongkat dengan kayu atau inti tongkat yang unik, mungkin hal itu tergantung pada kepribadian si pembeli tongkat. Arianne menuruti apa kata si penjaga toko, ia disuruh mengayunkan tongkatnya, dan kehangatan merayapi jemarinya tatkala ia menyentuh tongkat itu.
Otaknya serasa berkata bersemangat dalam kepalanya, menyentak, ayunkan, ayo! Dan itulah yang dilakukannya. Diayunkannya tongkat itu, dan saat sentakannya dilakukan, lampu yang ditodong tongkatnya padam. Tanpa sadar Arianne tersenyum, senyum tulusnya yang pertama di bulan September itu. "Cool! Berapa harganya? Aku ambil ini!" serunya senang sambil menatap tongkatnya, tapi sejurus kemudian rona merah sedikit tampak di pipinya, sadar bahwa ia telah kelepasan kontrol tingkah lakunya. Namun ia tetap tersenyum saat menyerahkan galleonnya ke tangan Mr. Ollivander si pembuat tongkat. "10 galleon 2 sickle? Oke, ini dia. Thanks," kata Arianne sambil berhigh-five riang dengan si penjaga toko tua itu. Kebiasaannya di Amerika muncul.
Kini tongkatnya telah aman dalam kotaknya, itupun masih dibungkus dalam kantong plastik yang bisa dijinjingnya. Dengan riang Arianne meninggalkan toko yang pertama itu, mendorong pintunya untuk bisa keluar, tak terlalu memperhatikan anak laki-laki berambut hitam yang berpapasan dengannya, dan akhirnya berjalan menuju toko selanjutnya yang harus dikunjunginya untuk mendapatkan barang yang diinginkannya.